TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Setiap tema UMKM dibahas oleh pemerintah, kata “digitalisasi” seolah jadi kata wajib yang harus ikut disisipkan. Pejabat selalu tampil penuh percaya diri dengan digitalisasi maka UMKM akan bisa berkembang baik nasional maupun internasional.
Berbagai saluran distribusi baik marketplace, media sosial ataupun payment gateway adalah racikan ajaib yang bisa menembus pasar global. Tidak terkecuali Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esthi menjabarkan secara penuh percaya diri menjadikan digitalisasi sebagai “senjata” UMKM go Internasional.
Selama ini teknologi sudah terlalu sering dijadikan jimat penyelamat. Padahal sejatinya teknologi hanyalah salah satu kebutuhan. Pemerintah sangat menekankan literasi digital melalui pelatihan live streaming dan onboarding e-commerce, seakan hanya itu jalan terbaik untuk bisa scale up.
Padahal di luar itu, UMKM Indonesia babak belur di dalam ring tinju yang berbeda. Mereka harus berjuang di ekosistem yang tidak ramah, regulasi berbelit, dan modal yang sempit.
Digitalisasi lebih seperti gincu pemerintah dalam mempercantik citra UMKM padahal penyakit akut terus meradang tanpa pengobatan yang efektif.
UMKM Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 64 juta entitas. Dengan jumlah itu UMKM menyumbang 61,9 persen PDB dan menyerap hampir 97 persen tenaga kerja nasional. Secara politik, mereka selalu disebut di berbagai kesempatan namun nyatanya mereka adalah kelompok yang paling jarang dibela.
Di lapangan, para pengusaha kecil harus menghadapi humor absurd: bergerilya di pasar digital namun dengan akses internet yang terbatas. Akses internet baik hanya ada di kota-kota besar belum merata hingga ke daerah.
Pun sudah susah, harga internet Indonesia termasuk paling mahal di dunia. Laporan dari We Are Social memaparkan Indonesia menempati peringkat ke-12 sebagai juara internet mahal sedunia dan juara satu di ASEAN dengan biaya internet broadband tetap per megabit per detik (Mbps) sebesar Rp6.800.
Sangat miris jika kita bandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang jauh lebih murah dari Indonesia. Filipina di peringkat kedua dengan harga Rp 2.325, Malaysia dengan harga Rp1.494, Vietnam dengan harga Rp 664, SIngapura dengan harga Rp 498, dan Thailand dengan harga Rp 332. Sebagai perbandingan, harga internet di Indonesia lebih mahal 2.000 persen atau dua puluh kali lipat lebih mahal daripada Thailand.
Pemerintah seharusnya sadar ketika mendorong UMKM untuk bisa ekspor, pertanyaan utama bukan: mau? Tapi: mampu?
Ongkos logistik dari Jawa ke Kalimantan saja bisa lebih mahal daripada mengirim ke Malaysia dan Singapura. Selain itu, dokumen dan sertifikasi yang berlapis-lapis seperti P-IRT, sertifikasi halal, BPOM hingga HACCP selalu menjadi batu sandungan bagi usaha kecil.
OSS yang seharusnya jadi pintu layanan utama dan diharapkan menyederhanakan, justru membuat pengusaha bingung seperti menyusuri puzzle birokrasi.
Belum lagi akses modal yang selalu diskriminatif. Walaupun pemerintah mengeluarkan kebijakan meniadakan kewajiban agunan untuk UMKM namun di lapangan, UMKM tetap perlu menyiapkan agunan untuk bisa mengakses KUR. Di sisi lain, investor juga enggan menyentuh wilayah ini karena model bisnis UMKM dianggap tidak feasible dan juga tidak bankable.
Padahal, ketika UMKM masih bergelut di dapur sendiri, produk impor murah terus membanjiri pasar kita. Mereka didukung oleh pemerintahnya sehingga bisa menang harga, lebih taktis dan juga lebih mudah mengurus logistik. UMKM Indonesia justru menjadi pemain cadangan di rumah sendiri.
Melihat fakta itu, digitalisasi seolah poster pengobatan alternatif yang ada di jalan-jalan, tiang listrik dan separator jalan. Sama-sama memberikan harapan palsu.
Padahal, UMKM tidak perlu didandani tapi harus dioperasi. Operasinya pun bukan operasi kecil macam mengangkat kutil. Operasi besar dan dilakukan secara komprehensif oleh setiap elemen bangsa.
Yang pertama adalah reformasi regulasi. Seringkali aturan pusat dan daerah masih membingungkan bagi UMKM. Ketika sudah mengurus izin usaha kepada pemerintah pusat melalui OSS, mereka juga harus mengurus izin tambahan atau persetujuan teknis yang berbeda-beda di tingkat Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), atau bahkan persyaratan dari dinas-dinas yang berbeda (misalnya, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perdagangan, Dinas Tata Ruang).
UMKM seharusnya tidak lagi menjadi korban tarik menarik kepentingan lembaga. Ketika kesepakatan sudah melalui satu pintu, maka standar juga harus satu agar tidak menyebabkan kebingungan berjamaah.
Operasi kedua adalah bagaimana pemerintah bisa menghadirkan solusi permodalan yang benar-benar memihak. Pemerintah perlu memberikan insentif dengan memangkas bunga kredit untuk bisnis yang berorientasi pada ekspor. Walaupun pendapatan Bank berkurang namun negara mendapatkan hasil lebih banyak melalui pajak, lapangan kerja, konsumsi domestik dan masuknya devisa.
Operasi ketiga adalah efisiensi logistik termasuk akses internet cepat yang murah. Ini harus menjadi perhatian pemerintah dengan serius karena logistik yang mahal benar-benar menghambat eskalasi bisnis. Logistik yang mahal menjadikan harga produk ikut mahal dan akhirnya kalah saing dengan negara-negara lain.
Pemerintah bisa menyediakan gudang konsolidasi yang cukup untuk mengkonsolidasi barang-barang yang berorientasi ekspor di tiap provinsi. Ketika sudah terkumpul, produk bisa disertifikasi secara kolektif agar bisa menekan biaya administrasi.
Di setiap gudang konsolidasi pemerintah perlu juga menempatkan konsultan tugasnya khusus mengedukasi dan memfasilitasi kelompok yang ingin mengekspor produknya. Hal ini penting agar UMKM bisa fokus menjalankan bisnisnya tanpa harus bingung terkendala dokumen maupun legalitas saat mendulang devisa.
Ketiga operasi tersebut memang tidak mudah dan tidak singkat. Namun pondasi yang kuat akan menopang struktur bangunan dengan baik dan tidak mudah terhapus seperti gincu digitalisasi. Indah disajikan namun tidak mengobati penyakit sesungguhnya.
***
*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |