TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Disahkannya KUHAP baru menjadi babak baru dalam sejarah sistem peradilan pidana. Setelah lebih dari empat dekade menggunakan KUHAP yang disahkan pada tahun 1981, perubahan ini membawa harapan dalam sistem peradilan pidana Indonesia menuju arah yang lebih modern yang lebih memberikan pengakuan terhadap HAM.
Pembaruan ini bukan hanya sekadar penyegaran aturan, melainkan jawaban atas kebutuhan mendesak untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana.
Selama bertahun-tahun praktik penegakan hukum memunculkan berbagai persoalan fundamental yang belum terselesaikan. Contohnya adalah kasus penangkapan tanpa prosedur yang benar, penggunaan upaya paksa secara berlebihan, serta masih ditemukannya praktik penyiksaan dalam penyidikan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa rentannya masyarakat pada saat berhadapan dengan penegak hukum. KUHAP lama dianggap belum cukup memberikan mekanisme kontrol dan belum berorientasi terhadap HAM. Di sinilah kehadiran KUHAP baru diharapkan relevan dan menghadirkan sistem yang memungkinkan tindakan aparat diawasi, dinilai, dan dibatasi berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan HAM.
KUHAP baru memperkuat prinsip fair trial yang menjadi inti dari sistem peradilan modern. Hak tersangka untuk memperoleh penasihat hukum sejak awal pemeriksaan bukan lagi sekadar formalitas tetapi kewajiban.
KUHAP baru juga menegaskan larangan terhadap penggunaan bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Artinya, pengakuan yang didapat melalui paksaan, intimidasi, atau tekanan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Ketentuan ini tidak hanya melindungi tersangka, tetapi juga mengarahkan proses penyidikan ke arah yang lebih profesional dan berbasis HAM.
Terdapat pengaturan lebih rinci mengenai perlindungan kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Kondisi ini menunjukan jika KUHAP baru lebih sensitif terhadap kebutuhan individu yang selama ini kurang terlindungi dalam proses peradilan.
Misalnya, kewajiban menyediakan penerjemah dan pendamping khusus menjadi langkah penting agar proses hukum dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Dalam perspektif HAM, hal ini merupakan kemajuan besar karena menjamin bahwa setiap orang diperlakukan setara di hadapan hukum.
Di tengah perkembangan teknologi, KUHAP baru juga mencoba menjawab tantangan era digital. Pengaturan mengenai alat bukti elektronik, penggunaan rekaman video, dan prosedur pemeriksaan modern menjadi bentuk adaptasi terhadap realitas baru masyarakat.
Perubahan ini sebenarnya bukan hanya soal efisiensi proses peradilan, tetapi juga mengenai pelindungan hak privasi warga. Tanpa pengaturan yang jelas, penggunaan teknologi oleh aparat berpotensi membuka ruang pelanggaran HAM yang lebih canggih. Melalui KUHAP baru, diharapkan setiap penggunaan teknologi tetap berada dalam batas hukum dan menghormati HAM.
Penting untuk dipahami bahwa hukum acara pidana bukan hanya seperangkat prosedur teknis, tetapi juga cermin bagaimana negara memperlakukan warganya, terutama kelompok paling rentan (tersangka, terdakwa, dan mereka yang belum tentu bersalah).
KUHAP baru ini merupakan upaya untuk membangun peradilan pidana yang berorientasi pada martabat dan HAM. Negara tidak boleh hanya mengejar efektivitas penindakan, tetapi harus memastikan bahwa proses hukum berlangsung adil, terbuka, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.
Penguatan peran advokat dalam KUHAP baru menjadi penting karena tidak hanya sebagai pendamping tersangka, tetapi sebagai penjaga keseimbangan dalam proses penyidikan. Advokat memiliki fungsi kontrol terhadap tindakan aparat, memastikan bahwa pertanyaan, penahanan, atau penggeledahan dilakukan sesuai prosedur.
Hadirnya advokat menjadikan tersangka tidak lagi sendirian menghadapi kekuasaan negara. Advokat juga menjadi jembatan informasi antara tersangka dan keluarganya, serta berperan mencatat dan melaporkan potensi pelanggaran HAM yang terjadi selama proses hukum.
Dalam konteks perlindungan HAM, kehadiran advokat adalah kunci untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas aparat. Terdapat beberapa penguatan dalam membela kliennya. Pengaturan mengenai perolehan alat bukti mencegah penyidik mendapat bukti yang tidak sah, proses penyidikan harus didasarkan pada alat bukti yang sah, bukan sekadar pengakuan untuk memenuhi tuntutan publik.
Memang, pengesahan KUHAP baru bukan berarti semua persoalan selesai. Tantangan justru muncul pada tahap implementasi. Tanpa peningkatan kapasitas aparat, pengawasan yang kuat, dan literasi hukum di masyarakat, spirit humanis dalam KUHAP baru dapat kehilangan makna.
Namun demikian, keberadaan aturan baru ini tetap memberi dasar yang kuat untuk mendorong perubahan perilaku aparat dan memperbaiki praktik penegakan hukum yang selama ini sering dikritik.
KUHAP baru merupakan pijakan awal bagi Indonesia untuk membangun sistem peradilan pidana yang lebih demokratis dan menghormati HAM. Keberadaan aturan ini menunjukkan bahwa negara mengakui pentingnya menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dengan pelindungan hak warga negara.
Dalam negara hukum yang beradab, keadilan tidak boleh dicapai dengan mengorbankan martabat manusia. KUHAP baru menghadirkan harapan bahwa keadilan dan kemanusiaan dapat berjalan beriringan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
***
*) Oleh : Atqo Darmawan Aji, S.H., M.H., Dosen FH UAD & Ketua PBH PERADI Kota Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |