https://jogja.times.co.id/
Opini

Hilangnya Literasi Sains di Negeri Cincin Api

Minggu, 29 Juni 2025 - 22:34
Hilangnya Literasi Sains di Negeri Cincin Api Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTAPADA akhir Juni 2025, kita dikagetkan dengan kasus meninggalnya Juliana Marins, pendaki asal Brasil di Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Juliana terperosok ke lereng terjal, yang berlokasi tidak jauh dari puncak Rinjani. Peristiwa tersebut memicu berbagai opini dari masyarakat Indonesia maupun publik internasional. 

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan berbagai pihak yang banyak bermunculan di media sosial. Tulisan ini juga tidak dalam rangka melakukan justifikasi atas hilangnya sisi kemanusiaan di atas kepentingan ekonomi dan politik.

Kejadian terperosoknya Juliana di tebing curam Gunung Rinjani, mengajak kita berefleksi atas kesadaran kita akan situasi yang mendesak. Hal yang dialami oleh Juliana kemungkinan bisa diminimalisir jika ada aturan main dan sanksi yang tegas pada setiap aktivitas ekstrem, termasuk menaiki gunung Rinjani, yang dikatakan memiliki level kesulitan yang tinggi. 

Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia sepanjang tahun 2018 -2024 berdasarkan World Giving Index. Namun perilaku dermawan ini terkadang belum berhasil menyentuh aspek penghargaan atas hidup orang lain. Untuk bisa memberikan penghargaan atas hidup manusia, salah satu caranya adalah dengan melibatkan sains.

Masih teringat kejadian tsunami Selat Sunda tahun 2018 yang meluluhlantakkan Kabupaten Pandeglang, Banten dan sekitarnya. Tsunami ini menjadi perhatian nasional karena merenggut lebih dari 400 korban jiwa. 

Diantara korban jiwa tersebut, ada tiga personel band Seventeen yang saat itu sedang mengisi acara di Tanjung Lesung, Pandeglang, Banten. Daerah pesisir sekitar selat Sunda, dan banyak daerah lain di Indonesia memang termasuk daerah rawan bencana, baik tektonik maupun vulkanik.

Ada banyak gunung berapi aktif dan titik potensi gempa bumi. Potensi bencana alam ini senantiasa mengintip setiap hari karena Indonesia berada di daerah Cincin Api Pasifik.

Letak Indonesia yang menjadi titik pertemuan tiga lempeng tektonik dunia membuat negara ini rawan dilanda gempa bumi, letusan gunung berapi hingga tsunami. 

Deretan tantangan tersebut seharusnya membuat Indonesia serius pada setiap kajian saintifik terkait setiap potensi bencana alam yang mungkin terjadi. Namun jika melongok kembali pada tsunami Banten 2018, nampaknya harapan tersebut masih jauh panggang dari api. 

Beberapa bulan sebelum terjadinya tsunami, tepatnya pada April 2018, Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)-kini sudah dilebur menjadi satu di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)-melaporkan hasil kajian riset terkait potensi tsunami di wilayah pesisir Pandeglang, Banten. 

Alih-alih membuat semua pihak waspada dan bersiap, justru penelitinya dipanggil pihak berwajib karena pernyataannya dianggap meresahkan masyarakat. 

Meskipun tidak ada tindak lanjut hukum, respons pihak berwajib atas kajian ilmiah tersebut membuktikan bahwa sains belum menjadi pertimbangan pertama dan utama para pengambil kebijakan, khususnya kebijakan terkait bencana alam di negeri ini. 

Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kejadian di Blatten, Swiss yang warganya diungsikan karena ada peringatan dari geologis atas potensi longsor glatser. Karena mendengar peringatan dari saintis, maka seluruh warga dan hewan ternaknya dapat dievakuasi tepat waktu sebelum longsor sungguh terjadi beberapa hari kemudian.

Mendengar dan mengambil keputusan atas kajian ilmiah saintis pada konteks potensi kebencanaan merupakah salah satu bukti penghargaan kita pada aspek kemanusiaan. Penghargaan akan keberadaan manusia tidak bisa hanya diukur dengan perilaku dermawan dan banyaknya donasi yang kita berikan. 

Terlepas dari hal tersebut, memang perbaikan tidak semudah melakukan literasi mitigasi bencana di sekolah atau komunitas masyarakat. Perlu ada perbaikan di banyak aspek, termasuk kepastian hukum dan perlindungan atas hasil kajian ilmiah. 

Pada level politik, para pemimpin negara perlu menjauhkan upaya pengkerdilan rasionalitas politik dengan melakukan politik uang di masa kampanye. Harapannya masyarakat akan terlatih menggunakan rasionalitas politik ketika melakukan pemilihan calon pemimpin negara atau pemimpin daerah. 

Rasionalitas ini juga perlu digerakkan oleh para pemuka agama sehingga menjauhkan masyarakat atas kepercayaan pada hal yang bersifat mistis atau takhayul. 

Program kerja pemerintah yang berbasis saintifik kepada publik harus lebih digalakkan, tentunya dengan cara yang sederhana namun menarik. Sebagai contoh adalah kegiatan Jakarta Future Festival pada pertengahan Juni 2025 yang lalu. 

Festival tersebut mampu menjadi sarana sosialisasi dan kolaborasi publik atas perencanaan pembangunan daerah. Berkaca pada kegiatan tersebut, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dapat membuat kegiatan serupa terkait literasi mitigasi bencana alam bagi publik. 

Dengan dibuat format festival, maka literasi bukan hanya bersifat satu arah dan top-down, tetapi terbuka dengan segala inovasi dan kearifan budaya setempat dalam menghadapi bencana alam. Sebagai contoh adalah budaya Smong yang menghindarkan penghuni Pulau Simeulue, Aceh dari bencana tsunami pada tahun 2004.

Selain itu, masih banyak usaha lain yang perlu dilakukan untuk membangun sense of urgency atas potensi bencana alam di lingkungan sekitar kita. Mulai dari integrasi kurikulum di sekolah, regulasi tata ruang dan tata wilayah yang adaptif, penegakkan aturan hukum, keterbukaan atas inovasi, penghargaan atas kearifan lokal setempat.

Strategi komunikasi yang niche sesuai dengan karakteristik masyarakat/komunitas lokal setempat dan lain sebagainya. Jika itu semua dapat dilakukan, maka sains akan menjadi pertimbangan mutlak atas setiap potensi bencana yang terjadi di Indonesia. 

***

*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

_________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.