TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Satu hal yang sering luput dari pembicaraan publik adalah bahwa negara tidak hanya bekerja melalui pembangunan fisik, proyek infrastruktur, atau subsidi. Ada satu bentuk layanan yang tak kalah penting, tetapi jarang dibahas: penyediaan data yang akurat.
Pada tahun 2026, layanan ini kembali menjadi agenda besar melalui Sensus Ekonomi 2026, sebuah pemotretan ulang wajah perekonomian Indonesia yang dilakukan setiap sepuluh tahun.
Sensus ini bukan sekadar rutinitas birokrasi. Ia adalah investasi besar untuk membaca perubahan pasar, memotret dinamika usaha dari kota hingga desa, serta menyediakan panduan arah kebijakan bagi pemerintah dan pelaku ekonomi.
Data inilah yang nantinya menentukan bagaimana negara menyusun strategi pembangunan, merancang intervensi ekonomi, sampai menghitung peluang usaha baru yang tumbuh di berbagai wilayah. Dan semua ini dibiayai oleh satu sumber utama: uang rakyat.
Sensus Ekonomi 2026 pendanaannya bersumber dari APBN. Anggaran ini bukan angka abstrak. Ia adalah rupiah demi rupiah yang disetor masyarakat melalui pajak, retribusi, hingga pungutan yang kembali kepada negara.
Karena itu, penggunaan anggaran untuk sensus bukanlah pengeluaran melainkan pengembalian manfaat kepada publik dalam bentuk data yang bisa dipakai untuk membuat kebijakan lebih tepat sasaran.
Pada tahun 2026, BPS membutuhkan Rp3,13 triliun untuk menyelenggarakan Sensus Ekonomi dan ratusan survei lainnya. Jumlah ini besar, namun nilai manfaatnya jauh lebih besar jika menghasilkan data yang benar-benar menggambarkan kondisi usaha di lapangan.
Namun satu hal yang harus diingat: keberhasilan sensus ini tidak hanya ditentukan oleh petugas, sistem, atau anggaran. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, khususnya pelaku usaha dan UMKM yang menjadi jantung Sensus Ekonomi.
Di lapangan, BPS masih sering menemui penolakan atau jawaban yang tidak akurat. Sebagian pelaku usaha merasa pendataan ini tidak relevan bagi bisnis mereka. Ada pula yang sekadar menjawab seadanya sehingga konsistensi informasi tidak terpenuhi. Padahal data sensus yang baik hanya lahir dari jawaban yang jujur, lengkap, dan dapat diverifikasi.
Untuk mengantisipasi persoalan ini, BPS memperluas jejaring kemitraan dengan berbagai kementerian, pemerintah daerah, hingga asosiasi pelaku usaha. Sinergi ini bukan soal formalitas, tetapi upaya nyata agar sensus berjalan lancar, akses petugas lebih mudah, dan masyarakat memahami bahwa pendataan ini berhubungan langsung dengan keberlangsungan usaha mereka.
Sensus ini bukan proyek BPS. Ia adalah program publik yang manfaatnya kembali kepada publik.
Di balik kegiatan besar seperti Sensus Ekonomi 2026, ada satu komitmen yang terus dijaga: transparansi pengelolaan keuangan negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 secara tegas menugaskan setiap kementerian dan lembaga, termasuk BPS, untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan. Ini bukan sekadar memenuhi aturan, tetapi cara negara menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan dana publik.
Pengawasan internal dan pemeriksaan eksternal yang independen memastikan pengelolaan anggaran berjalan efektif, efisien, dan ekonomis. Namun akuntabilitas sejati tidak berhenti pada laporan keuangan. Ia baru terwujud ketika masyarakat dapat melihat manfaat langsung dari setiap rupiah uang negara.
Melalui Sensus Ekonomi 2026, BPS menunjukkan bahwa dana publik digunakan untuk hal yang nyata: memetakan denyut nadi ekonomi Indonesia.
Data adalah Aset, Bukan Sekadar Angka
Investasi data sering kali tidak terlihat hasilnya secara instan. Tidak ada bangunan fisik, tidak ada gedung baru, tidak ada plang peresmian. Tetapi dampaknya jauh ke depan: data yang baik membuat pemerintah tidak meraba dalam gelap, dunia usaha lebih mudah membaca peluang, dan masyarakat menikmati kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Sensus Ekonomi 2026 memberi gambaran menyeluruh tentang skala usaha, struktur ekonomi, distribusi sektor, hingga karakteristik UMKM di setiap wilayah. Informasi seperti ini sulit ditemukan jika negara tidak berinvestasi pada pendataan.
Inilah mengapa dana sensus bukan belanja rutin. Ia adalah bentuk komitmen negara untuk memastikan pembangunan berjalan berdasarkan fakta, bukan asumsi.
Penyelenggaraan Sensus Ekonomi 2026 adalah bentuk penghormatan negara kepada masyarakat: memastikan bahwa uang rakyat digunakan untuk pengetahuan yang bermanfaat bagi rakyat itu sendiri. Setiap pelaku usaha yang membuka pintu bagi petugas sensus sejatinya sedang ikut menyukseskan pembangunan, bukan sekadar menjawab pertanyaan.
Sensus yang baik menghasilkan data yang kuat. Data yang kuat melahirkan kebijakan yang tepat. Dan kebijakan yang tepat menentukan masa depan ekonomi Indonesia.
Karena itu, investasi data melalui Sensus Ekonomi 2026 bukan untuk hari ini saja, melainkan untuk sepuluh tahun ke depan. Dan seperti halnya investasi apa pun, keberhasilannya membutuhkan dukungan seluruh masyarakat.
***
*) Oleh : Novi Fitriani, SE., MM., Fungsional APK APBN Pertama Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |