TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Perubahan teknologi biasanya datang seperti ombak: bergulung perlahan sebelum akhirnya menghantam pantai. Namun gelombang kecerdasan buatan atau AI datang berbeda, lebih mirip badai yang tiba tanpa aba-aba.
Pada satu sisi ia membuka efisiensi dan produktivitas yang belum pernah terbayangkan, tetapi pada sisi lain ia menyingkapkan pertanyaan besar: apakah manusia, terutama di Indonesia, masih punya cukup waktu untuk menyiapkan diri?
Penetrasi AI ke dunia industri kini bukan lagi wacana teknokratis. Ia terjadi di depan mata. Di pabrik-pabrik, algoritma memprediksi kapan mesin perlu dirawat sebelum rusak. Di sektor logistik, rute pengiriman tidak lagi ditentukan oleh intuisi operator, melainkan oleh model matematis yang terus belajar.
Di layanan pelanggan, chatbot semakin fasih berbicara hingga manusia di seberang telepon tak bisa membedakan mana manusia, mana mesin. Bahkan di sektor kreatif yang dulu dianggap “aman” AI mulai mengusulkan ide desain, menulis draf, dan membuat ilustrasi hanya dari satu perintah pendek.
Sementara itu, dunia kerja berubah lebih cepat dari kurikulum. Banyak pekerjaan tidak hilang, tetapi berubah bentuk: dari administratif menjadi analitis, dari manual menjadi berbasis data, dari menghafal prosedur menjadi mengarahkan sistem cerdas.
Perpindahan karakter pekerjaan seperti ini akan terus meluas. Kita tidak sedang menuju masa depan di mana mesin menggantikan manusia sepenuhnya, tetapi ke masa di mana manusia dan mesin harus hidup berdampingan, dan hanya mereka yang memahami cara bekerja dengan AI yang akan bertahan.
Pertanyaannya kemudian: apakah pendidikan kita sudah cukup adaptif untuk menjawab gelombang perubahan ini?
Jawabannya, kalau jujur, belum. Sistem pendidikan kita masih menempatkan hafalan sebagai prestasi, kepatuhan sebagai standar, dan kemampuan teknis tertentu sebagai tujuan akhir.
Padahal otomatisasi justru menyapu bersih pekerjaan yang hanya mengandalkan rutinitas. Kita tidak lagi cukup menyiapkan anak-anak dengan kemampuan menghafal rumus atau mengikuti langkah-langkah baku. Yang dibutuhkan adalah cara berpikir baru.
Ada tiga poros transformasi pendidikan yang mendesak. Pertama, literasi AI harus menjadi dasar baru seperti membaca dan berhitung. Anak-anak perlu tahu bagaimana algoritma bekerja, apa biasnya, serta bagaimana menggunakannya sebagai alat bantu, bukan musuh. Literasi bukan berarti semua orang harus menjadi programmer, tetapi semua orang harus mengerti “bahasa” yang digunakan mesin.
Kedua, keterampilan yang berpusat pada manusia, yang sulit diotomasi, harus menjadi fondasi. Kreativitas orisinal, komunikasi empatik, kemampuan kolaborasi lintas disiplin, dan kecakapan mengelola makna dalam hidup.
Dunia industri justru mencari pekerja yang mampu merumuskan masalah dengan perspektif luas, bukan hanya memecahkan soal dengan satu jawaban benar.
Ketiga, pemikiran komputasional dan problem solving tetap penting. STEM tidak boleh ditinggalkan. Justru ia menjadi tulang punggung agar generasi muda mengerti logika, struktur, dan disiplin berpikir. Namun STEM harus diramu ulang: bukan sekadar mengerjakan soal, tetapi memetakan persoalan dunia nyata, menilai bukti, membuat model, dan menguji hipotesis.
Perguruan tinggi memegang peran strategis dalam fase ini: bukan hanya sebagai pusat riset dan inovasi AI, tetapi juga sebagai ruang pembentukan kecakapan kritis bagi mahasiswa, tempat industri dan akademia saling bertemu untuk menyiapkan talenta yang adaptif dan relevan.
Apakah langkah-langkah ini cukup? Secara konsep: ya. Tetapi apakah waktunya cukup? Inilah yang perlu kita pahami dengan jujur. Transformasi pendidikan bersifat lambat. Guru perlu dilatih, kurikulum harus disesuaikan, budaya belajar harus berubah. Sementara teknologi bergerak cepat.
Kita tidak bisa mengejar kecepatan AI, tetapi kita bisa mempercepat adaptasi manusia, dengan mengubah orientasi pendidikan dari sekadar mencetak tenaga kerja menjadi membentuk manusia yang lentur, kreatif, dan mampu mengelola ketidakpastian.
Indonesia masih punya waktu, tetapi tidak banyak. Tersisa jendela kesempatan yang sempit sebelum dunia industri berubah lebih jauh. Jika kita hanya menjadi penonton, bukan pemain, maka otomatisasi akan datang sebagai ancaman.
Namun jika kita bergegas, memperkuat manusia sebagai pusat sistem, dan membangun generasi yang mampu menari bersama teknologi, maka AI justru menjadi mitra untuk lompatan peradaban.
***
*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI, Universitas Ahmad Dahlan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |