https://jogja.times.co.id/
Opini

Pahlawan Kejujuran di Dua Era

Selasa, 09 Desember 2025 - 13:57
Pahlawan Kejujuran di Dua Era Wurianto Saksomo, Alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Jika ada satu penyakit abadi yang menggerogoti negeri ini, ia bernama rasuah atau korupsi. Korupsi, yang lahir dari perpaduan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia ternyata sudah menjadi perhatian sejak ratusan tahun silam. 

Uniknya, di tengah-tengah lautan nestapa itu selalu ada beberapa individu langka yang berani menantang arus. Mereka adalah para pendekar yang memilih jalan sunyi integritas.

Mari kita singkap kisah dua figur heroik dari dua babak sejarah yang berbeda: Simon Hendrik Frijkenius dari zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang kolaps dan Priyatna Abdurrasyid seorang jaksa pemberani di masa awal Republik Indonesia. 

Kisah mereka, meskipun terpisah oleh waktu menunjukkan satu benang merah, yaitu melawan korupsi adalah sebuah pertempuran yang mahal, sunyi, dan sering kali tak berujung bahagia.

Bayangkan VOC di penghujung abad ke-18. Perusahaan dagang raksasa ini tidak sedang karam karena serangan musuh, melainkan karena ulah tikus-tikus di dalam lumbungnya sendiri. Defisit keuangan mencapai puluhan juta gulden. Emas 40 ton hilang dari kas negara di Batavia. 

Intinya, para pegawai VOC yang bergaji kecil justru menjadi kaya raya karena menyelewengkan dana dan memanfaatkan monopoli demi kepentingan pribadi. Mereka adalah hama yang menggerogoti kompeni yang termahsyur itu.

Untuk mengatasi bencana ini, pada tahun 1791 VOC mengirimkan dua figur penting sebagai Commissaris-Generaal (Komisaris Tinggi) ke Hindia Timur, salah satunya adalah Simon Hendrik Frijkenius. 

Frijkenius adalah seorang pelaut sejati. Lahir di Utrecht pada tahun 1747, ia dikenal memiliki integritas tinggi dan sangat dihormati. Ia bukan sekadar birokrat. Ia adalah orang jujur yang ditugaskan dalam misi penyelamatan yang hampir mustahil. Ia tiba di Batavia pada November 1793 dengan harapan bisa membantu secara efisien untuk memperbaiki VOC.

Namun, Frijkenius segera menyadari bahwa Batavia adalah “sarang buaya”. Dalam otobiografi sejarah, arsiparis Belanda Frederik De Haan menyebut Frijkenius sebagai “seorang pelaut yang jujur, yang gugur dalam pertempuran tanpa harapan melawan korupsi di Batavia.”

Frijkenius datang untuk memberantas, tetapi pejabat tinggi di Batavia yang telah lama berkuasa justru berkolusi untuk menjegal semua upaya baiknya. Yang lebih menyakitkan, rekan kerjanya sendiri, Sebastian Cornelis Nederburgh, ternyata jauh lebih dominan dan kerap berbeda pandangan dengannya. 

Frijkenius menentang keras penyalahgunaan jabatan dan nepotisme yang marak, tetapi ia berjuang sendirian. “Tidak ada yang mendukungnya dalam perjuangannya melawan penyalahgunaan jabatan dan nepotisme,” catat sejarawan.

Lelah dengan pertempuran yang sia-sia dan merasa perjuangannya tidak menghasilkan apapun, Frijkenius akhirnya meminta dibebaskan dari jabatannya pada Desember 1795. Ia meninggal di Batavia pada 6 Juni 1797, diduga karena penyakit saraf yang parah.

Ironisnya, seorang perwira tinggi yang datang untuk menyelamatkan perusahaan dimakamkan di petak pemakaman pegawai kompeni yang paling rendah. Simon Hendrik Frijkenius menjadi simbol abadi perlawanan yang kalah melawan sistem yang terlampau kuat.

Melompat dua abad berselang, Indonesia telah merdeka. Namun, penyakit lama itu tidak hilang. Di akhir tahun 1950-an, korupsi kembali merajalela dan menjangkiti aparat sipil, militer, hingga pengusaha. Di sinilah muncul sosok lain yang membawa semangat integritas, kali ini dari kalangan penegak hukum: Priyatna Abdurrasyid (1929–2015).

Priyatna adalah seorang jaksa di Bandung yang kemudian menjadi ujung tombak dalam gerakan pemberantasan korupsi. Kisahnya bermula saat Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie, melancarkan Operasi Budhi. Berkat kedekatannya dengan Adjie, Priyatna dipercaya untuk memimpin operasi tersebut di lapangan.

Ia tak main-main. Modus kejahatan saat itu beragam, mulai dari surat kaleng, penggelapan pajak, hingga korupsi aparat. Priyatna, yang saat itu masih muda, menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ia tak gentar menyeret siapa pun ke pengadilan. 

Ia bahkan pernah menahan pejabat hingga selevel menteri di Hotel Telaga Sari, Bandung, yang dijadikan tempat pemeriksaan. Ia juga berhasil menangkap pengusaha tekstil nakal, Jacob Van, yang ternyata sahabat Panglima Kostrad Soeharto saat itu. Soeharto di kemudian hari menjadi Presiden RI.

Keberhasilan Operasi Budhi di Jawa Barat menarik perhatian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution, yang kemudian menjadikannya program nasional di bawah lembaga bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). Priyatna pun ditarik mewakili Kejaksaan RI di PARAN. Dalam waktu singkat, Operasi Budhi/PARAN berhasil menyelamatkan uang negara yang nilainya fantastis.

Keberanian Priyatna bukan hanya tercermin dalam tindakannya, tetapi juga dalam pandangannya di masa tua. Kepada Historia (sebuah majalah sejarah), ia pernah berkeluh kesah mengenai situasi masa kini. 

Ia mengeluhkan banyaknya orang yang memilih diam saat melihat kejahatan. “Orang sekarang kebanyakan takut. Mau ini takut, mau itu takut," ujarnya. Baginya, budaya diam ini adalah pupuk yang menyuburkan korupsi.

Bagi Priyatna, keberanian para perwira di masanya, seperti Kawilarang dan Dharsono, adalah kunci. Mereka berani bertindak dan tidak gentar berhadapan dengan sejawatnya yang menyimpang. 

Priyatna Abdurrasyid, sang jaksa pemberani, berpulang pada tahun 2015, namun semangatnya menjadi pengingat bahwa perlawanan terhadap korupsi harus selalu dimulai dengan keberanian individu.

Frijkenius dan Priyatna adalah dua cermin yang menunjukkan wajah perjuangan melawan korupsi di Indonesia. Frijkenius, sang orang asing yang datang dengan niat baik di zaman kolonial, menghadapi sistem korupsi yang sudah terlalu mengakar dan tak tersentuh, yang akhirnya mengalahkannya hingga mati dalam keputusasaan. 

Sebaliknya, Priyatna sang putra bangsa, mengalami era ketika dukungan dari pimpinan (seperti Adjie dan Nasution) masih kuat. Namun, ia tetap harus menghadapi tekanan, bahkan kelak mengeluhkan mentalitas takut yang menghambat.

Kisah kedua pahlawan ini menyajikan pesan yang tak lekang waktu. Korupsi tidak akan pernah hilang kecuali ada individu yang berani bicara dan bertindak. Meskipun nasib Frijkenius berakhir tragis dan Priyatna menyaksikan kultur diam kembali tumbuh, warisan mereka adalah bukti nyata bahwa integritas adalah bentuk kepahlawanan tertinggi. Melawan korupsi adalah tugas tanpa akhir, sebuah pertarungan yang harus terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Hari ini tanggal 9 Desember seluruh dunia merayakan Hari Anti Korupsi Dunia (Hakordia).  Di Indonesia, perayaan ini mengambil jargon, “Satukan Aksi, Basmi Korupsi!” Sebuah pengingat yang menggambarkan kekuatan kolaborasi, bahwa perjuangan memberantas korupsi tidak bisa dibebankan pada satu institusi saja, melainkan tanggung jawab bersama. Selamat merayakan Hakordia. Panjang umur perjuangan.

***

*) Oleh : Wurianto Saksomo, Alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.