https://jogja.times.co.id/
Opini

SPPI dan Bayang-bayang Militerisme Sipil

Senin, 23 Juni 2025 - 19:33
SPPI dan Bayang-bayang Militerisme Sipil Muhammad Rafi Fadilah, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM sekaligus Pemerhati Isu Politik, HAM, Demokrasi, dan Keamanan Nasional.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) adalah wajah baru dari proyek ambisius negara, menyiapkan sumber daya manusia unggul untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. 

Melalui proses seleksi ketat, pelatihan intensif, hingga penempatan di berbagai daerah, SPPI yang dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dilatih untuk menjadi agen perubahan bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh secara mental, fisik, dan dedikatif secara moral.

Namun, justru dalam semangat besar itu kita perlu menaruh tanda tanya apakah SPPI sungguh merupakan program pemberdayaan sipil? Ataukah, seperti yang pernah terjadi di masa lalu, ini adalah bentuk baru militerisme sipil yang dibungkus dalam narasi modern pembangunan?

Dalam konteks ketugasaan, SPPI batch ke-3 akan menjadi ujung tombak pelaksana Program Makan Bergizi Gratis, program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dimulai pada 6 Januari 2025 (Tirtoid, 2025). 

Tugas mereka tidak main-main, memimpin dan mengelola pelayanan gizi di berbagai wilayah Indonesia, berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat, serta memastikan rantai pemenuhan gizi berjalan secara efektif. 

Dalam jangka panjang, SPPI diproyeksikan sebagai motor penggerak pembangunan yang berkelanjutan dan inovatif, termasuk lewat pengalaman lapangan dan pelatihan manajerial maupun semi-militeristik yang mereka jalani.

Terdengar modern dan fungsional. Tetapi jika kita kaji secara mendalam, model pelatihan SPPI sangat menyerupai pola mobilisasi gaya militer, terdapat struktur hierarkis, penempatan lintas wilayah, disiplin ketat, hingga larangan bagi peserta perempuan untuk hamil selama masa pelatihan dan penugasan. 

Lebih dari sekadar kaderisasi pembangunan, SPPI beroperasi dalam logika yang menyerupai aparat: loyal, siap ditempatkan, dan bertugas menjalankan program negara bukan merancang, apalagi mengkritisinya.

Inilah yang dalam teori Antonio Gramsci dapat dibaca sebagai bentuk hegemoni kultural. Negara modern, kata Gramsci, tidak hanya bertumpu pada kekuatan koersif (seperti militer dan polisi), melainkan juga pada penciptaan konsensus melalui institusi-institusi sipil seperti pendidikan dan pelatihan. 

Dalam SPPI, negara menginternalisasi nilai-nilainya ke dalam tubuh sipil dengan membentuk sarjana-sarjana yang secara ideologis tunduk pada arah pembangunan versi negara. Ini bukan hanya soal pembangunan gizi, melainkan juga pengendalian narasi tentang apa itu pembangunan dan siapa yang layak memimpinnya.

Lebih dari itu, SPPI juga merepresentasikan kecenderungan depolitisasi sipil, warga sipil yang dilatih bukan untuk menjadi pemikir kritis, melainkan pelaksana teknokratis. SPPI bertugas memimpin layanan gizi, tapi tidak diberi mandat untuk mengevaluasi atau merekomendasikan kebijakan strategis. 

Mereka menjadi roda penggerak, bukan penyusun arah. Ini berisiko menciptakan generasi muda yang aktif secara administratif, tapi pasif secara politik.

Sejarah Indonesia mencatat, pendekatan serupa pernah diterapkan melalui program ABRI Masuk Desa dan PNS sebagai agen stabilitas nasional. 

Keduanya dirancang untuk menembus desa-desa, membangun dari bawah, namun secara ideologis tetap mengusung narasi tunggal pembangunan versi negara. 

SPPI meskipun tampak lebih sipil, tetap membawa potensi bahaya serupa yaitu penetrasi vertikal negara ke ruang-ruang lokal melalui aktor-aktor muda yang "disiapkan".

Tentu saja, tidak semua hal yang militeristik bersifat buruk. Disiplin, komitmen, dan daya juang tetap menjadi nilai penting. Namun, ketika nilai-nilai ini tidak dibarengi dengan partisipasi warga, otonomi komunitas, dan ruang reflektif bagi peserta SPPI, maka yang terjadi bukan pemberdayaan, melainkan domestikasi. 

Alih-alih membebaskan potensi warga desa, program ini bisa menjadi instrumen pendisiplinan sosial yang justru meminggirkan inisiatif lokal.

Jika pemerintah ingin SPPI berhasil dan berdampak jangka panjang, maka prinsip-prinsip partisipasi dan demokratisasi harus ditanamkan dalam setiap tahapnya. 

Pelatihan SPPI seharusnya tidak hanya membentuk mentalitas pelaksana, tetapi juga pemikir dan pemimpin yang mampu berdebat, menyerap aspirasi lokal, dan menyampaikan kritik ke atas. 

Gizi masyarakat memang penting, tapi lebih penting lagi membangun kesadaran warga bahwa mereka berhak menentukan arah pembangunannya sendiri.

Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud hanya dengan pembangunan infrastruktur atau program makanan gratis. Ia butuh warga yang merdeka secara pikir dan politik. 

SPPI bisa menjadi bagian dari gerakan itu bila ia dibebaskan dari logika kontrol dan diberi ruang untuk menjadi mitra sejajar, bukan alat negara.

***

*) Oleh : Muhammad Rafi Fadilah, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM sekaligus Pemerhati Isu Politik, HAM, Demokrasi, dan Keamanan Nasional.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

_____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.