https://jogja.times.co.id/
Opini

Menilik Sejarah Korpri dalam Menjawab Tantangan

Senin, 01 Desember 2025 - 16:33
Menilik Sejarah Korpri dalam Menjawab Tantangan Wurianto Saksomo, Alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Setiap tanggal 29 November, jutaan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia, yang tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia atau Korpri, memperingati hari jadi organisasi mereka. Hari tersebut bukan sekadar momentum upacara dengan seragam batik biru berlambang pohon hayat. Lebih dari itu, Hari Korpri adalah saatnya melakukan refleksi mendalam, sudah sejauh mana korps ini menjalankan perannya sebagai abdi negara dan abdi rakyat?

Jika ditarik ke belakang, sejarah Korpri sangat lekat dengan dinamika politik Indonesia. Korpri secara resmi didirikan pada 29 November 1971 melalui Keppres Nomor 82 Tahun 1971. Namun, jauh sebelum itu, cikal bakalnya sudah dipersiapkan untuk tujuan yang sangat spesifik, yaitu menyatukan seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bawah satu wadah tunggal.

Masa Orde Baru adalah babak paling signifikan dalam sejarah Korpri. Saat itu, Korpri didesain sebagai instrumen politik untuk menerapkan prinsip monoloyalitas, yaitu kesetiaan tunggal kepada negara, yang saat itu diartikan sebagai kesetiaan kepada pemerintah dan Golongan Karya (Golkar).

Sebagaimana dicatat oleh Ben Mboi dalam “Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja”, keberadaan Korpri menjadi bagian dari strategi “tiga jalur” pendukung Golkar: ABRI, Korpri, dan Golkar itu sendiri. Menteri Dalam Negeri kala itu, Amir Machmud, bahkan dijuluki “buldoser” karena perannya dalam menggiring birokrasi sipil untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971. 

Pembentukan Kokar (Korps Karyawan) di berbagai departemen, yang kemudian dilebur ke dalam Korpri, secara sengaja dirancang untuk kepentingan politik ini. Intinya, Korpri didirikan sebagai penjaring suara masif yang melumpuhkan dukungan elektoral terhadap partai-partai lain.

Namun, Era Reformasi mengubah segalanya. Setelah Orde Baru tumbang, Korpri dipaksa untuk mereformasi diri. Statusnya berubah total dari alat kekuasaan menjadi organisasi yang dituntut netral dan tidak berpihak pada partai politik mana pun. 

Netralitas ASN adalah harga mati yang terus didengungkan hingga hari ini.

Tantangan Korpri di era modern ternyata tidak kalah berat. Setelah berhasil lepas dari belenggu politik praktis, tantangan terbesarnya justru datang dari internal, yaitu harapan anggotanya dan pandangan publik.

Bagi banyak anggotanya, Korpri masih dianggap seperti “papan nama” belaka. Artisa Jati Handayani dalam “Quo Vadis Pembaruan Korpri?” di Suara Karya menyebutkan adanya kekecewaan yang merebak di kalangan anggota. 

Korpri dianggap gagal menjadi pelindung, penyuara kepentingan, apalagi alat politik yang tangguh untuk memperjuangkan agenda kesejahteraan ekonomi atau reformasi kultur birokrasi.

Banyak ASN merasa Korpri hanya menjadi mesin legitimasi kekuasaan para pejabat elite birokrasi, bukan wadah berserikat yang egaliter dan solider. Berbeda dengan organisasi profesi seperti PGRI (organisasi profesi guru) atau IDI (organisasi profesi dokter) yang gigih membela anggotanya yang tersandung masalah hukum, Korpri justru seringkali dianggap membela kepentingan pimpinan birokrasi. Kegagapan dalam advokasi ini menjadi kritik utama yang menunjukkan Korpri masih terperangkap dalam kultur feodal dan patrimonial yang tidak mampu digerus oleh semangat reformasi.

Tantangan lain adalah mengubah mental priyayi. Joko Widodo saat menjabat sebagai presiden RI pernah meminta para ASN untuk meninggalkan mental priyayi dan berubah menjadi birokrat yang melayani. Mental priyayi adalah mental penguasa yang cenderung mengejar pangkat dan simbol status. 

Sosiolog Harsya W. Bachtiar bahkan menyebut bahwa golongan priyayi kini muncul dalam bentuk korps pegawai negeri sipil, di mana cara kerja lebih diarahkan pada kenaikan pangkat daripada prestasi profesional. Korpri harus menjadi lokomotif reformasi birokrasi, bukan lagi wadah yang membiarkan budaya birokrasi yang lamban, tidak transparan, atau sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Untuk tetap relevan dan eksis di masa depan, Korpri harus melakukan langkah-langkah terbaik secara menyeluruh. Ini bukan hanya soal ganti baju batik, melainkan revolusi visi dan misi organisasi.

Pertama, memperkuat peran advokasi. Korpri harus mewujudkan diri sebagai serikat pegawai yang demokratis dan pro publik, dengan program yang secara nyata bersentuhan dengan kesejahteraan anggota. 

Jika sumber dana hanya bergantung pada iuran anggota yang kecil, pengurus harus berani menyusun prioritas program dan mengelola usaha secara profesional untuk meningkatkan kontribusi terhadap kesejahteraan. Korpri harus konsisten membangun esprit de corps atau solidaritas sejati di antara para anggotanya.

Kedua, menjadi whistle blower dan lokomotif reformasi. Di masa depan, peran Korpri harus diperkuat agar berani menjadi whistle blower dalam kasus penyimpangan birokrasi, seperti korupsi. Keberanian ini adalah bukti integritas dan kinerja tinggi. Korpri harus mendorong hadirnya budaya birokrasi yang sehat, akuntabel, dan berpihak pada suara rakyat, bukan sekadar menjadi unit legitimasi atasan.

Ketiga, transformasi budaya. Anggota Korpri di masa depan adalah ASN yang berhadapan dengan disrupsi teknologi dan tuntutan pelayanan publik yang serba cepat. Organisasi harus mampu membebaskan diri dari kultur yang kurang demokratis sekaligus mendorong perubahan paradigma dalam aspek kelembagaan, manajemen, dan sumber daya manusia.

Korpri telah melewati sejarah panjang, dari alat kekuasaan hingga wadah netral. Namun, masa depannya bergantung pada kemauan keras pengurus dan anggota untuk melepaskan bayang-bayang masa lalu. 

Korpri tidak boleh surut ditelan zaman dan semakin tertinggal dari organisasi profesi/fungsional. Mereka harus menegaskan, “Kami adalah abdi negara, tetapi di atas segalanya, kami adalah pelayan rakyat sejati.”

 

***

*) Oleh : Wurianto Saksomo, Alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.