TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Ketika bencana alam kembali mengguncang Sumatera, publik Indonesia seperti biasa menunjukkan wajah terbaiknya: solidaritas, gotong royong, dan spontanitas membantu sesama. Di tengah hiruk-pikuk kepanikan dan kepedihan para penyintas, kita selalu melihat barisan relawan, komunitas, hingga individu yang lewat berbagai cara berusaha meringankan beban korban.
Namun ada satu institusi yang sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menggerakkan bantuan secara sistematis dan masif, tetapi belum sepenuhnya menempati panggung utama: bank syariah.
Keberadaan bank syariah yang selama ini dipahami sebagai lembaga keuangan berbasis nilai dan profit ternyata menyimpan mandat sosial yang jauh lebih luas, terutama melalui peran mereka dalam pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, dan sedekah (ZIS).
Fungsi sosial ini bukan hanya pelengkap aktivitas komersial, melainkan bagian integral dari identitas bank syariah sebagai lembaga keuangan yang dibangun di atas prinsip etika, keadilan, dan keseimbangan.
Ketika bencana melanda, nilai-nilai itu seharusnya bekerja lebih cepat dibanding mekanisme ekonomi biasa. Bank syariah memiliki instrumen yang memungkinkan mobilisasi dana ZIS dalam hitungan jam, bukan hari.
Itulah yang membuat keberadaan bank syariah strategis dalam konteks kebencanaan: mereka bukan sekadar saluran dana, tetapi simpul penting yang bisa mempercepat siklus bantuan dari niat masyarakat menuju tangan penyintas.
Dalam konteks bencana Sumatera saat ini, urgensi tersebut semakin tampak jelas. Ribuan keluarga kehilangan rumah, mata pencaharian lumpuh, dan kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan obat-obatan menjadi prioritas.
Sebagian besar korban berada dalam kondisi serba terbatas. Pada fase seperti inilah dana zakat dapat diarahkan untuk membantu keluarga miskin yang terdampak, infak menjadi sumber pendanaan cepat untuk kebutuhan darurat.
Sementara sedekah dapat memperkuat bantuan jangka pendek maupun jangka panjang. Ketika instrumen-instrumen itu dikelola dengan baik, bank syariah berpotensi menjadi jembatan harapan bagi para korban yang membutuhkan kepastian bantuan.
Namun potensi tersebut hanya akan benar-benar terasa jika bank syariah mampu melakukan optimalisasi secara menyeluruh. Salah satu tantangan terbesar selama ini adalah kecepatan mobilisasi dana. Masyarakat sudah terbiasa menyalurkan donasi melalui platform digital, dan di sinilah bank syariah harus bergerak lebih progresif.
Integrasi pengumpulan dana ZIS dalam aplikasi perbankan, penggunaan QRIS syariah, dan kerja sama dengan platform donasi digital akan mempercepat arus bantuan. Ketika kanal digital diperluas dan dipermudah, partisipasi publik akan meningkat, dan penyaluran dana bisa dimulai bahkan ketika proses verifikasi bencana masih berlangsung.
Selain penghimpunan dana, bank syariah juga memiliki peluang besar untuk memperkuat distribusi logistik. Pada fase awal bencana, kebutuhan seperti makanan pokok, peralatan kebersihan, obat-obatan, hingga perlengkapan bayi sangat mendesak. Bank syariah, dengan jaringan kantor cabang dan unit layanan yang tersebar di berbagai daerah, dapat menjadi pusat logistik darurat.
Mereka tidak harus menggantikan peran lembaga kemanusiaan, tetapi menjadi simpul yang membantu memastikan ketersediaan dan distribusi kebutuhan dasar secara cepat dan terorganisir. Di titik inilah fungsi sosial bank syariah menemukan wajah konkret: hadir secara nyata di tengah masyarakat, bukan hanya dalam bentuk laporan tahunan.
Optimalisasi peran sosial bank syariah juga membutuhkan penguatan kolaborasi. Tidak ada satu lembaga pun yang mampu bekerja sendirian ketika bencana terjadi. BAZNAS, BNPB, pemerintah daerah, hingga organisasi kemanusiaan harus berada dalam satu ekosistem kerja yang saling menguatkan. Kerja sama seperti inilah yang memastikan bahwa dana ZIS yang dihimpun bank syariah tidak hanya tersalur, tetapi tersalur secara tepat sasaran.
Ketepatan ini penting, mengingat dana sosial syariah memiliki aturan penyaluran yang jelas dan tidak bisa dilakukan sembarangan. Ketika bank syariah memperluas jaringan kolaborasi, mereka tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan, tetapi sebagai bagian dari mekanisme tanggap bencana nasional.
Optimalisasi peran sosial bank syariah saat bencana bukan sekadar tugas moral, tetapi amanah institusional yang menegaskan keberadaan mereka sebagai pilar ekonomi berbasis nilai. Ketika publik semakin percaya pada lembaga yang mampu bekerja cepat, transparan, dan akuntabel, bank syariah memiliki kesempatan besar untuk menunjukkan bahwa mereka bukan hanya aktor ekonomi, tetapi aktor kemanusiaan.
Dalam bencana-bencana besar sebelumnya, kita telah melihat bagaimana banyak lembaga non-bank bergerak cepat menggalang bantuan. Kini saatnya bank syariah menempatkan diri dalam posisi yang sama strategisnya, bahkan lebih.
Bencana alam selalu menjadi ujian bagi sistem, nilai, dan solidaritas sosial suatu bangsa. Indonesia sudah terbiasa melewati berbagai krisis dan bangkit berulang kali, tetapi kualitas kebangkitan itu selalu ditentukan oleh seberapa cepat bantuan pertama datang.
Jika bank syariah mampu memaksimalkan instrumen ZIS, mempercepat mobilisasi dana, memperkuat distribusi logistik, dan membangun kolaborasi lintas lembaga, maka mereka dapat tampil sebagai garda terdepan dalam misi kemanusiaan.
Pada saat yang sama, kehadiran mereka menjadi bukti bahwa lembaga keuangan syariah bukan hanya berdiri untuk keuntungan, tetapi juga untuk kemaslahatan yang lebih luas.
***
*) Oleh : Rofiul Wahyudi, Dosen Perbankan Syariah, Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |