TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Kita semua pasti punya teman seperti ini: dulu di kelas, dia selalu paling cepat mengumpulkan jawaban ujian, lalu tidur santai di bangku belakang sementara kita masih berkutat di soal nomor tiga. IPK-nya tembus 3,8, huruf A berjatuhan seperti hujan meteor di transkrip.
Tetapi hari ini, tiap awal bulan, dia jadi komandan berburu promo: diskon daging ayam, cashback e-wallet, hingga bundling kuota yang katanya “cocok untuk pekerja kreatif”. Hidup rupanya tidak patuh pada logika integral. Kadang yang jago limit justru limbung ketika berhadapan dengan limit kartu kredit.
Fenomena ini bukan satu-dua. Ada banyak juara akademik yang kariernya berjalan pelan, sementara si Budi yang dulu suka titip absen justru punya coffee shop tiga cabang. Hidup memang mirip ujian pilihan ganda, kuncinya bisa pindah halaman. Kita sudah hafal teori dari bab utama sampai lampiran, tapi nilai tertinggi sering mendarat pada mereka yang tahu kapan harus santai dan kapan menekan tombol “kirim”.
Apakah kuliah rajin jadi sia-sia? Tentu tidak. Ilmu tetap penting, tetapi ada mata kuliah kehidupan yang tak tercatat di KRS: membaca peluang, membangun jejaring, mengelola uang, dan sedikit bakat stand-up comedy di media sosial.
Dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar pintar. Ia butuh kecerdasan mencari cuan yaitu timing, keberanian, dan kepekaan sosial. Tanpa itu, ilmu sering berhenti sebagai makalah rapi, bukan pemasukan nyata.
Ada pula jebakan idealisme. Orang pintar ingin kerja sesuai passion, bermanfaat bagi umat manusia, sekaligus etis. Mulia, tentu. Namun PLN tetap menagih, kontrakan minta transfer, dan barista tidak menerima pembayaran dengan esai reflektif.
Karena itu, sebagian banting setir: dari laboratorium ke dunia konten, dari jurnal ke kanal. Tiba-tiba mereka fasih menyebut “engagement” seperti dulu menyebut “akurasi”.
Saya tidak sedang meremehkan ilmu. Justru ilmu itu pondasi. Tapi pondasi tanpa bangunan hanya lahan kosong. Ilmu butuh jembatan ke pasar: produk, layanan, kursus, konsultasi, atau komunitas berbayar. Banyak akademisi kini memadukan idealisme dan realisme.
Ada dosen tetap mengajar dengan hati, tapi juga membuka kelas daring analitik data untuk UMKM. Materinya serius, gayanya santai, hasilnya tidak spektakuler tapi stabil: murid paham, dompet aman, idealisme pun nyaman.
Dalam Islam, ukuran berhasil itu tidak tunggal. Nabi pernah bersabda, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Pintar tanpa manfaat itu seperti colokan tanpa Listrik, bentuknya ada, nyetrumnya tidak.
Namun mari jujur: manfaat tidak bisa konsisten tanpa daya tahan finansial. Abu Dzar bisa zuhud di masanya, tetapi kita tetap harus membayar kuota, cicilan, dan biaya servis AC.
Karena itu, ada strategi sederhana bagi kaum pintar yang ATM-nya sering drama. Belajar komunikasi agar riset bisa jadi cerita yang bikin orang peduli. Bangun jejaring lintas bidang karena peluang sering datang dari teman nongkrong. Diversifikasi keahlian dengan menambahkan kemampuan praktis yang bisa langsung ditagihkan. Kelola uang secara disiplin, pisahkan rekening pribadi dan proyek.
Manfaatkan platform digital untuk mengubah ilmu jadi produk, kelas daring misalnya, e-book ringkas, atau tools kecil yang menyelesaikan masalah spesifik. Dan jangan lupa rawat reputasi, sebab di zaman bising ini integritas adalah diferensiasi paling mahal.
Langkah-langkah itu tidak akan langsung menjadikan dompet gemuk. Tetapi sedikit demi sedikit bisa jadi bukit, asal bukan bukit tagihan. Menggembirakan melihat makin banyak orang pintar memonetisasi ilmunya tanpa menipiskan etika: membuat newsletter berbayar, membuka klinik tugas akhir, atau menjadi konsultan paruh waktu. Mereka bukti bahwa idealisme tidak harus jadi martir; ia bisa jadi mesin, asal diberi bahan bakar yang realistis.
Hidup memang tidak selalu adil, tapi selalu bisa diakali dengan ikhtiar. Jangan minder kalau jalan kita tidak secepat orang lain. Mungkin kita bukan “telat sukses”, hanya sedang memilih definisi sukses yang lebih panjang napasnya.
Bahagia bukan semata saldo. Ada damai karena bermanfaat, ada bangga karena karya berguna, ada senyum karena bisa traktir orang tua tanpa menunggu THR. Ilmu yang dipakai akan memanggil rezekinya sendiri. Sisanya, tinggal doa, usaha, dan konsistensi. (*)
***
*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen Fakultas Teknologi Industri UAD, Investor Saham dan Cryptocurrency.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |