TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pendidikan Indonesia kini berada dalam simpang jalan penting dalam menentukan arah evaluasi hasil belajar. Di tengah arus reformasi pembelajaran yang menekankan kedalaman pemahaman dan keberpihakan pada murid, justru muncul kembali bentuk evaluasi terstandar seperti Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Nilai hasil TKA dapat digunakan sebagai salah satu instrumen seleksi masuk ke jenjang berikutnya, terutama dalam jalur prestasi. Meskipun bersifat opsional, kehadirannya menghidupkan kembali kekhawatiran lama: bahwa tekanan ujian dapat memengaruhi arah pembelajaran di kelas dan menciptakan iklim kompetisi yang tidak sehat.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, Daerah Istimewa Yogyakarta juga mempertahankan Asesmen Standarisasi Pendidikan Daerah (ASPD) sebagai alat ukur ketercapaian belajar siswa.
Kebijakan semacam ini memperkuat persepsi bahwa capaian kognitif siswa harus dibuktikan melalui ujian berskala besar, yang dampaknya bisa meluas ke praktik belajar di sekolah dasar dan menengah.
Ketika skor menjadi fokus, murid terdorong belajar demi hasil, bukan demi makna. Di sisi lain, guru bisa terjebak dalam rutinitas pelatihan soal, menyesuaikan pengajaran dengan bentuk evaluasi, bukan dengan kebutuhan individual peserta didik.
Dalam konteks sosial, jalur prestasi sering kali menjadi simbol mobilitas. Banyak orang tua melihatnya sebagai jalan strategis menuju sekolah unggulan. TKA sebagai alat seleksi pun menjadi sorotan: berbagai bentuk persiapan tambahan mulai dari bimbingan belajar, modul latihan, hingga simulasi ujian diperkenalkan bahkan sebelum anak memahami alasan mereka belajar.
Akibatnya, proses belajar tereduksi menjadi sekadar latihan menghadapi tes. Ini berisiko memperlebar kesenjangan antara siswa yang mampu mengakses fasilitas persiapan dengan mereka yang tidak, mengubah pendidikan dari ruang emansipasi menjadi arena eksklusif kompetisi.
Pengalaman internasional menunjukkan ujian berskala nasional yang bersifat high-stakes sering kali menjadi pedang bermata dua. Di Korea Selatan, ujian CSAT atau Suneung menjadi simbol tekanan akademik yang ekstrem, berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis dan sosial murid.
Sebaliknya, negara-negara seperti Finlandia dan Jepang menggunakan pendekatan asesmen formatif yang lebih menekankan umpan balik dan pengembangan jangka panjang, menghindari stigma gagal-menang yang merugikan.
Pemerintah Indonesia tampaknya tengah mencoba menyeimbangkan pendekatan lokal dan global. Hal ini merupakan langkah yang patut diapresiasi, meski tantangan besar tetap ada dalam menjaga agar TKA tidak mengubah orientasi pendidikan dari "belajar untuk hidup" menjadi "belajar untuk ujian." TKA, maupun ASPD, dapat berperan jika dimaknai sebagai alat bantu diagnosis pendidikan.
Namun, tanpa panduan etis dan pedagogis yang kuat, sistem ini bisa dengan cepat berubah menjadi tekanan struktural. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa desain tes menekankan kemampuan berpikir kritis dan konteks kehidupan nyata, bukan hafalan.
Materi pendukung sebaiknya disediakan secara merata dan gratis, terutama bagi sekolah di daerah 3T, dan guru perlu dibekali pelatihan agar dapat menyelaraskan pendekatan asesmen dengan prinsip pembelajaran bermakna.
Menjaga agar semangat reformasi pendidikan tetap berpijak pada nilai-nilai pembelajaran bermakna adalah hal yang krusial di tengah arus penilaian berbasis skor.
Keberhasilan pendidikan tidak cukup ditentukan oleh berapa banyak soal yang dijawab benar, melainkan sejauh mana peserta didik tumbuh sebagai individu reflektif, mandiri, dan siap menghadapi tantangan hidup.
Ujian seperti TKA dan ASPD dapat tetap dilaksanakan, tetapi harus ditempatkan sebagai instrumen diagnostik, bukan tujuan akhir. Pemerintah perlu memastikan transparansi soal dan hasil ujian untuk mendukung evaluasi formatif, menyediakan pelatihan asesmen autentik secara berkala bagi guru.
Selain itu, penting untuk melembagakan mekanisme umpan balik dari siswa dan orang tua secara periodik agar proses evaluasi menjadi reflektif dan partisipatif. Dengan pendekatan ini, asesmen tidak hanya menjadi pengukur capaian, tetapi jembatan menuju pembelajaran yang adil, bermakna, dan memanusiakan. (*)
***
*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menimbang Ujian High-Stakes dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |