TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Perkembangan zaman memaksa pendidik untuk legowo hijrah menuju dunia baru yang syarat pola berpikir baru. Keterampilan berbahasa yang terdiri dari membaca, menulis, menyimak, dan berbicara semuanya bertumbu pada single modal: yakni teks.
Buku bacaan telah lama ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, bukan berarti tidak penting, tetapi realita memperlihatkan bagaimana toko-toko buku berangsur tutup (bangkrut), surat kabar cetak pun mengurangi oplah cetak fisik. Masyakarat Indonesia secara umum mengakses teks multimodal.
Teks multimodal adalah teks di mana maknanya dikomunikasikan oleh lebih dari satu mode – misalnya teks tertulis, audio, gambar diam, gambar bergerak, gerakan, penggunaan ruang, dll. Teks multimodal digital dapat mencakup, misalnya, video, tayangan slide dan halaman web.
Informasi yang tersebar berpotensi menjadi pengetahuan atau ilmu. Jenis pengetahuan sebetulnya sangat mudah dikelompokkan berdasarkan popularitas aksesnya. Jenis pertama adalah pengetahuan mapan, jenis kedua adalah pengetahuan acak.
Pengetahuan mapan adalah pengetahuan empiric yang memiliki platform tersendiri dan dikurasi dalam kancah adu temuan, misalnya scopus. Pengetahuan bersifat sangat dinamis, berkembang cepat dan mudah diakses melalui internet. Jenis kedua adalah pengetahuan acak, yakni pengetahuan yang berhamburan di media social, tanpa kurasi.
Data terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tahun 2022 pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 210 juta. Berdasarkan laporan We Are Social, pengguna aktif TikTok di Indonesia sebesar 99,1 juta orang. Pengguna TikTok di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu di TikTok sebanyak 23,1 jam per bulan. Data ini menunjukkan pengetahuan yang diakses masyarakat Indonesia mayoritas adalah pengetahuan acak-tanpa kurasi.
Realitas pembelajaran di kelas, guru masih menganggap media sosial semua berisi konten negatif. Ruang kelas yang seharusnya menjadi simulasi dunia nyata, menjadi berjarak dengan dunia nyata si anak. Guru enggan mengangkat pengetahuan acak dalam media social untuk dikritisi di kelas.
Faktanya, konten edukasi di media social banyak kita temui, mulai dari literasi keuangan, literasi digital, berbagai tutorial, maupun pengetahuan-pengatahuan lain yang dibungkus komedi dan hal kreatif lainnya.
Literasi Memirsa dalam Pembelajaran
Literasi Memirsa adalah kemampuan untuk menemukan, mengolah, dan memanfaatkan informasi secara kritis menggunakan media multimodal. Keterampilan memirsa membantu siswa mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk menganalisis dan mengevaluasi teks visual dan teks multimodal yang menggunakan visual. Guru perlu mengembangkan literasi memirsa dalam pembelajaran melalui Langkah berikut.
1. Kurasi
Guru mengkurasi konten video di media social secara normatif namun kekinian.
2. Pertanyaan Esensial
Guru perlu menyiapkan pertanyaan esensial yang mampu mengupas berbagai sisi dari konten tersebut dengan disesuaikan topik pembelajaran. Ciri pertanyaan esensial menurut McTighe dan Wiggins (2013); Merupakan pertanyaan terbuka, yaitu pertanyaan yang tidak hanya memiliki satu jawaban tunggal yang benar, atau satu jawaban final. Merangsang keinginan berpikir dan keterlibatan intelektual, seringkali merangsang adanya sebuah diskusi atau debat.
Membangun kemampuan berpikir ke tingkat lebih tinggi, seperti kemampuan dalam menganalisis, menarik kesimpulan, mengevaluasi, dan melakukan prediksi. Pertanyaan jenis ini tidak dapat dijawab dengan hanya mengingat fakta. Merujuk pada ide-ide yang penting dan dapat ditransfer kapan pun dan pada pelajaran apa pun. Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru dan merangsang inkuiri lebih lanjut. Membutuhkan dukungan dan justifikasi, bukan sekedar jawaban
3. Model Pembelajaran
Guru perlu Menyusun scenario pembelajaran menggunakan model pembelajaran inovatif, misalnya problem based learning, inquiry, dsb.
4. Penilaian Otentik
Guru perlu bersiap dengan kejutan-kejutan jawaban atau gagasan dari siswa. Penilaian tidak lagi bertumpu pada benar dan salah, tetapi kualitas gagasan. Guru perlu menghargai setiap gagasan unik. Siswa diajak untuk tidak takut salah dan berani mengambil resiko. Penilaian menggunakan kriteria terbuka dan berbasis proses (assessment for learning)
Literasi memirsa merujuk pada kebermaknaan proses kritis dengan menggunakan media mainstream yang sesuai dengan jiwa peserta didik. Berangkat dari pintu siswa, keluar melualui pintu kebermaknaan belajar. Belajar menjadi bermakna dan kelas sungguh menjadi ajang simulasi dunia nyata. Siswa dihadirkan permasalahan nyata dalam bentuk konten media social, dikupas, dikritisi dan menjadi ide (novelty) yang tertanam sepanjang hayat. Maka makna belajar sepanjang hayat bukan hanya belajar sampai tua tetapi tidak bermakna, tetapi belajar demi ilmu yang berguna sepanjang hayat si peserta didik.
***
*) Oleh: Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |