TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Penanganan perkara tindak pidana korupsi yang menyeret pengusaha nasional Budi Hartono Linardi sedang jadi sorotan pakar dan praktisi hukum di Yogyakarta. Mereka pun menggelar eksaminasi putusan perkara tindak pidana korupsi terdakwa Budi Hartono Linardi di Hotel Ultima Riss Yogyakarta, Sabtu (4/11/2023).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh DPC Peradi Kota Yogyakarta Bersama Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum UII. Eksaminasi merupakan tindakan menguji atau membahas ulang berbagai aspek dalam proses pengadilan. Eksaminasi kerap disebut sebagai legal annotation yaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa.
“Eksaminasi ini untuk pembelajaran kita semua,” kata Ketua DPC Peradi Kota Yogyakarta Dr Ariyanto didampingi Sekretaris DPC Peradi Kota Yogyakarta, Fajar Kurniawan.
Pembahasan fenomena ini berawal dari kasus pemalsuan surat penjelasan impor yang sempat menjadi perhatian serius banyak pihak terutama pegiat hukum. Dalam kajian ini, hadir para praktisi hukum sebagai pembahas yaitu Prof Dr Tongat dari FH Universitas Muhammadiyah Malang, Prof Dr Amir Ilyas dari FH Universitas Hasanuddin Makassar, Dr Rocky Marbun dari FH Universitas Pancasila, Dr Chairul Huda dari FH Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Mudzakkir dari FH UII. Dr Mahrus Ali dari FH UII sebagai moderator acara tersebut.
Dalam forum itu, ada sejumlah kesimpulan yang disepakati. Pertama, bahwa perbuatan terdakwa dalam perkara a quo tidak tepat melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Perbuatan terdakwa merupakan pelanggaran terhadap UU Kepabeanan.
Kedua, tidak tepat mengaitkan antara kerugian sebesar Rp 1,06 triliun yang jelas merupakan kerugian keuangan negara dengan sejumlah Rp 91,3 miliar yang diperoleh oleh PT Maraseti Logistik.
Uang sejumlah Rp 1,06 triliun adalah kewajiban pembayaran bea kepabeanan dan pajak-pajak lainnya yang seharusnya terbayarkan kepada negara oleh 6 perusahaan yang meminta bantuan kepada terdakwa untuk memperoleh surat penjelasan.
Uang tersebut merupakan sumber penerimaan yang harus diperoleh negara. Sedangkan uang sejumlah Rp 91,3 miliar tersebut diperoleh oleh terdakwa karena telah mengurus surat penjelasan impor dari 6 perusahaan melalui almarhum Ira Chandra.
Dengan demikian, uang tersebut bukanlah kerugian keuangan negara. Sehingga, baik terdakwa maupun PT Maraseti Logistik tidak dapat dibebani kewajiban untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor.
Ketiga, penggunaan penghitungan kerugian perekonomian negara dalam perkara a quo bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan agar kerugian keuangan negara nyata dan pasti jumlahnya, melanggar ajaran kausalitas, dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b tentang pembayaran uang pengganti.
Keempat, ada error in persona dalam putusan perkara a quo karena perbuatan terdakwa bukan atas nama diri sendiri, melainkan bertindak untuk dan atas nama PT Maraseti Logisik.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, Budi Hartono Linardi merupakan owner atau pemilik dari PT Meraseti Logistic Indonesia, PT Meraseti Transportas Indonesia, PT Meraseti Maritim Indonesia, PT Meraseti Digital Kreatif, PT Meraseti Konsultama Indonesia, PT Meraseti Bakti Nusantara, PT Meraseti Anugerah Utama, dan PT Meraseti.
Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum dari Kejagung RI Jefri Leo Chandra pada pertengahan Maret 2023 melayangkan tuntutan bahwa terdakwa Budi Hartono Linardi selaku Benefiaciary Owner PT Meraseti Logistik Indonesia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.
Terdakwa Budi Hartono Linardi dituntut pidana penjara selama 12 tahun dan membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Selain itu, Penanggung Jawab PT Meraseti Logistik Indonesia terdakwa Budi Hartono Linardi juga dikenakan hukuman pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 91,3 miliar subsidair 6 tahun penjara.
Dalam perkara ini, Budi Hartono dikenakan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sekadar diketahui, bahwa Budi Hartono Linardi terjerat persoalan hukum dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya tahun 2016 hingga 2021.
Terdakwa Budi Hartono Linardi melalui Taufiq yang merupakan owner dan manager Perusahaan Meraseti Grup melibatkan pihak pegawai Direktorat Impor pada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan atas nama almarhum Ira Chandra.
Dalam perjalanan diketahui, almarhum Ira Chandra membuatkan surat penjelasan impor palsu dengan mendapatkan imbalan sebesar Rp 350 juta untuk enam perusahaan yang dimintakan untuk diuruskan surat penjelasan impornya oleh Budi Hartono Liandi melalui Taufiq.
Dengan adanya surat penjelasan impor tersebut, maka keenam perusahaan saat mengimpor besi atau baja, baja paduan, dan turunannya yang menggunakan perusahaan Budi Hartono yaitu PT Meraseti Group. Maka keenam perusahaan yang sudah mendapatkan surat penjelasan impor tidak perlu lagi diperiksa saat bongkar muat oleh surveyor yang berkonsekuensi pada perusahaan tidak lagi membayar biaya-biaya kepabeanan.
Keenam perusahaan tersebut yang telah diuruskan surat penjelasan impornya melalui Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) PT Meraseti Logistik Indonesia milik terdakwa Budi Hartono Linardi yakni PT Bangun Era Sejahtera (PT BES), PT Duta Sari Sejahtera (PT DSS), PT Intisumber Bajasakti (PT IB), PT Jaya Arya Kemuning (PT JAK), PT Perwira Adhitama Sejati (PT PAS), dan PT Prasasti Metal Utama (PT PMU) mengajukan importasi besi atau baja dan baja paduan.
Penyebabnya keenam perusahaan tersebut tidak terbebani dengan pembiayaan kepabeanan karena dalam surat penjelasan impornya dibuatkan kerjasama fiktif oleh Ira Chandra dengan BUMN yang seolah-olah sedang menjalankan proyek pemerintah. Beberapa perseroan BUMN yang dibuatkan kerja sama fiktif oleh Ira Chandra yaitu PT. Adhi Karya, PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Nindya Karya, dan PT Pertamina Gas (Pertagas).
Dalam misi ini, Budi Hartono Linardi mendapatkan jasa inklaring atas pengurusan surat penjelasan itu dari enam perusahaan yaitu sebanyak Rp 91,3 miliar. Dana sebanyak Rp 91,3 miliar masuk ke rekening beberapa perusahaan milik dari Budi Hartono Linardi yaitu PT Meraseti Logistik Indonesia, PT Meraseti Maritim Indonesia, PT Meraseti Merak Maritim, PT Meraseti Digital Kreatif, PT Meraseti Konsultama Indonesia, PT Meraseti Bhakti Nusantara, PT Meraseti Anugerah Utama, PT Meraseti Transportasi Indonesia, dan PT Mulia Perkasa Agung.
Selanjutnya, Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis kepada terdakwa Budi Hartono Linardi pidana badan dan uang pengganti sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selain dianggap telah memperkaya dirinya sebanyak Rp 91,3 miliar, Budi Hartono dinilai memperkaya orang lain yaitu Ira Chandra sebesar Rp 2,25 miliar dan Taufiq sebesar Rp 200 juta. Selain itu, Budi Hartono juga dinilai telah memperkaya enam perusahaan sebesar Rp 1,06 triliun.
Sedangkan jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,06 triliun. Sementara jumlah kerugian perekonomian negara sebesar Rp 22,6 triliun. Tidak mau menerima nasib begitu saja, terdakwa Budi Hartono Linardi kemudian mengajukan banding.
Dari penelusuran TIMES Indonesia merujuk dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat. Amar putusan banding tersebut bernomor 22/PID.SUS-TPK/2023/PT DKI tertanggal 27 Juli 2023. Sementara Majelis hakim pada tingkat banding diketuai Nelson Pasaribu dengan hakim anggota Dr Sumpeno dan Dr Fauzan.
Sedangkan bunyi amar putusan di tingkat banding ini antara lain mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 79/Pid.Sus/TPK/2022/PN Jkt.Pst, tanggal 27 Meret 2023 yang dimohonkan banding tersebut.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Budi Hartono Linardi dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. Dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Selain pidana badan, majelis hakim pada tingkat banding tersebut juga turut meringankan hukuman uang pengganti bagi Budi Hartono Linardi menjadi nihil. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Praktisi Hukum Yogyakarta Bahas Eksaminasi Perkara Korupsi Budi Hartono, Ini Hasilnya
Pewarta | : Fajar Rianto |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |