TIMES JOGJA, TEMANGGUNG – Ribuan warga Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, melakukan tradisi sadranan pada bulan Ruwah sambil membawa 1200 tenong menuju lapangan Jati Diri, Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (31/1/2025).
Sadranan yang dilaksanakan setiap Jumat Pon pada penanggalan jawa ini, bagi warga Desa Kembangsari merupakan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun. Tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat rejeki, serta sebagai ajang berkumpul menjaga kerukunan warga desa.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tradisi Sadranan 1.000 Tenong setiap Jumat Pon pada bulan Ruwah sebagai peringatan berdirinya Desa Kembangsari. Juga, untuk menghormati Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot sebagai cikal bakal atau pendiri Desa Kembangsari.
Warga Desa Kembangsari melakukan doa bersama di makam Kiai Jenggot Jumat, 31/1/2025, pagi, menjelang tradisi Sadranan Tenong di Desa Kembangsari, Temanggung. (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
“Jika dulu tiap Sadranan warga dusun mengadakan acara nyadran sendiri-sendiri di dusunnya masing-masing. Harinya sama tiap Jumat Pon, bulan Ruwah. Hanya saja dilakukan per dusun,” kata Fery Rahayu (28), Kepala Dusun Padangan, salah satu dusun yang ada di Desa Kembangsari, kepada TIMES Indonesia ,
Lebih lanjut Fery yang sudah menjabat sebagai Kadus selama tiga tahun ini menuturkan, Desa Kembangsari yang kebanyakan berprofesi sebagai petani kopi terdiri dari 7 dusun yaitu Dusun Sendari, Dusun Pejaten, Dusun Kembangsari, Dusun Padangan, Dusun Tanjungan, Dusun Pete, dan Dusun Karodan.
Karena area Desa Kembangsari yang sangat luas, lanjut Fery, warga zaman dahulu melakukan tradisi nyadran per dusun tiap Jumat Pon bulan Ruwah. Setiap warga dusun akan melakukan bersih bersih makam keluarga dan leluhurnya. Sebagian warga lainnya ada yang membersihkan makam Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot cikal bakal Desa Kembangsari.
“Sebelum ada Sadranan 1.000 Tenong, tradisi Sadranan Jumat Pon yang menyatukan warga itu ya makam Gintungan ini,” ujar Fery yang duduk berdampingan dengan pemerhati budaya dan tradisi Temanggung, Fadkus Soim.
Makam Gintungan adalah makam satu satunya yang ada di Desa Kembangsari. Sehingga pada saat bulan Ruwah, ujar Fery, pada hari Jumat Pon seluruh warga Desa Kembangsari akan bersama-sama datang ke makam untuk membersihkan makam dan berziarah.
Membersihkan makam Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot. Berkumpul dengan tetangga yang jarang bertemu. Makam Gintungan kemudian menjadi tempat menyatukan seluruh warga Desa Kembangsari. Guyub dan rukunnya terlihat sekali di area makam Gintungan ini pada saat nyadran, kata Fery.
Kyai Jenggot dan Nyai Jenggot di Makam Gintungan
Pada hari Jumat pagi, sebelum warga Desa Kembangsari membawa tenong menuju lapangan, semua warga desa, utamanya yang laki-laki, melakukan bersih-bersih makam di Pemakaman Gintungan yang letaknya di atas bukit di tengah Desa Kembangsari.
Makam Gintungan adalah tempat keluarga dan leluhur warga Desa Kembangsari yang sudah meninggal dimakamkan. Usai membersihkan makam keluarga masing masing di antara mereka ada yang membacakan doa, ada juga disudut lainnya terlihat seorang bapak sedang membacakan Surat Yasin di depan sebuah makam.
Pada bagian tengah makam terdapat cungkup serupa bangunan limasan yang di dalamnya terdapat ruangan berdinding kaca. Di dalam ruangan kaca itu terdapat dua buah makam yang diselimuti oleh kain berwarna putih serupa kafan. Itulah makam leluhur atau orang yang dipercaya sebagai tetua atau orang yang pertama kali babat alas membentuk Desa Kembangsari yang biasa disebut warga sebagai Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot. Di depan ruang kaca makam Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot terdapat dua buah makam lagi yang batu nisannya diberi kain berwarna putih.
Kedua makam di depan ruang kaca itu dipercaya sebagai makam dari pengawal atau asisten dari Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot. Namun beberapa warga yang ditanyai tidak ada yang bisa menjawab siapa nama kedua pengawal Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot tersebut.
Sarju (64), mantan Kepala Desa Kembangsari saat ditemui TIMES Indonesia di area makam mengatakan, Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot itu dipercaya oleh warga sebagai cikal atau orang yang pertama kali babat alas mendirikan Desa Kembangsari. Disebut Kiai Jenggot karena konon katanya simbah-simbah dulu wajahnya bersih dan berjenggot sangat panjang.
“Makanya para orang tua menyebutnya Mbah Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot, ujar Sarju, yang menjabat sebagai Kepala Desa Kembangsari pada tahun 1988-1998. Baru sekitar 5 tahun belakangan ini saja Kaur Desa memberikan nama sebagai Kiai Ibrohim dan Nyai Ibrohim.
Jika merunut cerita orang orang terdahulu, lanjut Sarju, Mbah Kiai Jenggot ini asalnya dari Keraton Solo, sebab konon menurut cerita simbah simbah dulu, batu nisannya itu diambil dari Solo.
"Hal itu yang kemudian dipercayai warga bahwa Kiai Jenggot berasal dari Keraton Solo," ujar Sarju.
Sadranan 1.000 Tenong
Kemudian lahirlah tradisi Sadranan 1000 tenong sebagai upaya menyatukan tradisi sadranan yang dilakukan oleh warga setiap dusun yang ada di Desa Kembangsari pada setiap Jumat Pon bulan Ruwah pada penanggalan Jawa.
Pemerhati Budaya dan Tradisi Temanggung, Fadkus Soim, yang juga menghadiri acara Sadranan 1000 tenong mengatakan, sejak dulu Desa Kembangsari itu sudah ada tradisi yang dilaksanakan dua tahun sekali yakni di tahun genap.
"Nama tradisinya Sadranan Kambing Pete, karena diadakan di Dusun Pete, Desa Kembangsari," ujarnya kepada TIMES Indonesia.
Lebih lanjut Fadkus bercerita, pada tahun 2014 usai Sadranan Kambing di Dusun Pete, Kepala Desa yang menjabat saat itu, Sutiyo, memunculkan gagasan menarik agar tradisinya terus berjalan setiap tahun.
Jika Sadranan kambing Pete diadakan setiap tahun genap dua tahun sekali, maka tradisi Sadranan yang dilakukan warga Kembangsari di dusunnya masing masing disatukan dalam sebuah tradisi baru bernama Sadranan 1.000 Tenong. Waktunya pada tahun ganjil setiap tahun pada hari Jumat Pon pada bulan Ruwah, usai tahun genap tradisi Sadranan Kambing di Dusun Pete.
Hanya bedanya,ujar Fadkus, Sadranan Kambing Pete dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon. Sedangkan Sadranan 1000 Tenong diadakan pada hari Jumat Pon pada bulan Ruwah.
"Jumat Pon mengakuisisi hari Sadranan yang biasa dilakukan warga tiap dusun di Desa Kembangsari,” tandasnya.
Maka sejak tahun 2015 itulah, Fadkus mengungkapkan, di Desa Kembangsari terdapat dua even tradisi yaitu tradisi Sadranan kambing Pete pada tahun genap dan Sadranan 1000 Tenong pada tahun ganjil. Sadranan Kambing Pete akan dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon pada bulan Ruwah tahun depan atau tahun 2026.
Warga melakukan makan bersama di lapangan usai didoakan oleh ulama dalam tradisi Sadranan 1000 Tenong di Desa Kembangsari, Temanggung. (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Tradisi kambing Pete di Dusun Pete dilakukan setiap warga yang nyadran sambil membawa kambing untuk disembelih dan dimasak bersama lalu melakukan doa bersama di makam Keramat di Dusun setempat.
"Tidak semua warga melakukan sadranan kambing di Dusun Pete, karena hanya warga yang terkabul nazarnya saja yang melakukan pemotongan kambing dan melakukan Sadranan," ujarnya.
Sedangkan Sadranan 1.000 Tenong diadakan sebagai wujud syukur dan peringatan berdirinya Desa Kembangsari dan menghormati Kiai Jenggot dan Nyai Jenggot sebagai cikal Desa Kembangsari.
Aktivitasnya, pada pagi hari Jumat Pon bulan Ruwah seluruh warga melakukan bersih bersih makam keluarga dan leluhur juga makam Kiai Jenggot dan makam Nyai Jenggot di pemakaman Gintungan juga melakukan doa bersama. Lalu pada setelah usai setiap keluarga beriringan sambil membawa tenong menuju lapangan untuk melakukan doa dan makan bersama tenong yang mereka bawa.
Fadkus yang didampingi Kadus Padangan Fery Rahayu lebih lanjut bercerita, pada awalnya, Sadranan 1.000 Tenong belum diikuti oleh semua dusun di Desa Kembangsari. Baru pada tahun berikutnya, warga 7 dusun se Desa Kembangsari diwajibkan ikut serta guyub rukun mengikuti tradisi Sadranan 1000 Tenong di Desa Kembangsari. Nama tradisi Sadranan 1.000 Tenong mengacu pada jumlah warga yang membawa tenong yang terdiri dari 1.200-an Kepala Keluarga.
Makan Bersama Ribuan Warga
Dan pada hari Jumat (31/1/2025), setiap keluarga dari 7 dusun yang tinggal di Desa Kembangsari berjalan beriringan sambil membawa tenong. Tenong adalah sejenis bakul berbentuk bundar yang terbuat dari anyaman bambu untuk membawa berbagai jenis makanan berupa nasi tumpeng, ingkung ayam, sambal ikan, sayur, dan jenis lauk lainnya.
Ribuan warga yang berjalan beriringan itu, ada juga yang membawa daun pisang utuh bersama pelepahnya untuk alas makanan. Bahkan ada juga yang membawa tikar untuk alas duduk. Mereka berjalan bersama keluarganya masing masing.
Senyum tawa menghiasi wajah yang bergembira lazimnya kegembiraan pada hari raya. Mereka mengenakan pakaian terbaik yang dipunyai. Bahkan banyak juga keluarga, yang terdiri dari bapak dan ibu beserta anaknnya memakai batik sarimbit, seragam sebagai penanda satu keluarga.
Usai tiba di lapangan Jati Diri mereka menggelar alas atau tikar masing masing. Di panggung para ulama termasuk Bupati terpilih Agus Setiawan, duduk menghadap ribuan warganya. Usai seorang ulama selesai membacakan doa, tenong-tenong yang berderet di depan warga mulai dibuka dan diletakkan di alas daun pisang.
Suasananya meriah. Mereka mengajak siapa saja yang ada di dekat tiap keluarga untuk makan bersama. Sangat meriah suasananya. Tak ada rasa sungkan antar mereka. Semuanya saling berbagi makanan. Indahnya kebersamaan dalam tradisi. (*)
Pewarta | : Eko Susanto |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |