TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Fenomena kemarau basah tengah melanda sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Yogyakarta. Meski musim kemarau secara kalender sudah berlangsung sejak Mei, hujan deras masih terus mengguyur hingga Juli 2025. Bahkan, beberapa daerah masih dilanda banjir di tengah seharusnya musim kering.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk pakar agrometeorologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, Ph.D. Menurutnya, kemarau basah perlu disikapi serius karena membawa dampak ganda: ada yang merugikan, namun juga bisa menguntungkan tergantung wilayah dan kondisi geografis.
“BMKG memprediksi kemarau basah ini masih akan berlangsung hingga Oktober 2024. Dampaknya sudah terasa, terutama bagi petani,” kata Apri saat ditemui di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Senin (14/7/2025).
Petani Gagal Tanam karena Salah Prediksi
Apri menjelaskan, para petani di berbagai wilayah mengalami gagal tanam karena keliru memperkirakan cuaca. Dalam kondisi normal, bulan Mei hingga Juni biasanya menjadi waktu ideal untuk menanam komoditas hortikultura seperti cabai dan bawang merah. Namun tahun ini, curah hujan justru masih tinggi, menyebabkan genangan air di lahan pertanian.
“Banyak petani yang sudah menyiapkan lahan, tetapi gagal tanam karena sawah mereka kebanjiran. Bahkan ada yang puso karena terus-menerus diguyur hujan,” ujarnya.
Meski begitu, kemarau basah tidak sepenuhnya merugikan. Menurut Apri, wilayah-wilayah kering dan tadah hujan seperti Papua dan sebagian kawasan Indonesia Timur justru mendapatkan berkah dari fenomena ini.
“Ketersediaan air yang cukup di wilayah kering membuka peluang tanam lebih besar bagi petani di sana,” jelasnya.
Pentingnya Prediksi Cuaca dan Edukasi Iklim
Untuk meminimalkan risiko kerugian akibat fenomena iklim ekstrem seperti La Niña, Apri mendorong adanya prediksi cuaca nasional yang lebih presisi hingga tingkat desa atau lahan pertanian. Informasi ini, menurutnya, harus segera disampaikan kepada petani melalui jaringan penyuluh pertanian di setiap daerah.
“Prediksi awal La Niña sangat penting untuk membantu perencanaan sektor pertanian, kehutanan, perikanan, bahkan transportasi dan energi. Ini bisa mencegah kerugian besar,” katanya.
Apri juga menekankan pentingnya edukasi berkelanjutan kepada petani tentang anomali iklim dan perlunya perlindungan melalui asuransi pertanian. Ia menyarankan agar pemerintah mulai memperkuat kesiapan infrastruktur seperti pompa air, irigasi tersier, dan pemilihan benih tahan genangan seperti Inpara 1–10, Inpari 29, Inpari 30, dan Ciherang.
“Upaya adaptasi iklim harus menjadi agenda bersama. Karena cuaca ekstrem bukan hanya ancaman, tapi juga peluang jika kita siap mengelolanya,” paparnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kemarau Basah, Pakar UGM: Ada Dampak Positif dan Negatif Bagi Petani
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Deasy Mayasari |