TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Fenomena kekeringan mulai dirasakan sejumlah warga yang tinggal di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bahkan, sejumlah sumur bor milik pribadi maupun yang dibangun oleh pemerintah di tengah masyarakat tak lagi mengeluarkan air.
Diantara perkampungan yang mengalami kekeringan atau krisis air bersih berada di Dusun Gedangsari, Pathuk, di Dusun Ngawen dan sejumlah dusun lainnya.
“Di dusun tersebut sumber air sangat terbatas, bahkan sumur bor tidak lagi mengeluarkan air,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana saat meninjau Dusun Gedangsari, Pathuk, Gunungkidul, Minggu (24/9/2023).
Dari pantuan DPRD DIY, saat ini ketersediaan air bersih di Gunungkidul sudah sangat memprihatinkan. Hal itu terjadi karena sumber air sangat terbatas. Bahkan, warga rela membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
“Ada warga yang membeli air dalam tanki sebanyak 5.000an liter dengan harga antara Rp 250 ribu hingga Rp 350 ribu,” terang politisi PKS ini.
Agar warga tidak berat membeli air dalam jumlah besar, warga bergotong royong. Bagi warga yang rumahnya sulit dijangkau kendaraan truk tanki, warga pun terpaksa harus memindahkan air dengan cara manual yaitu memakai jerigen.
“Mobil tanki airnya biasanya ngedro tengah malam hingga dini hari,” terang Huda menirukan warga.
Situasi ini tentunya sangat memprihatinkan bagi warga yang ingin mendapat air bersih. Apalagi, warga mendapatkan droping air bersih antara 2 sampai 3 hari sekali.
“Saya cukup heran mengapa sumur sumur bor yang dibuat dari pemerintah banyak yang tidak operasional, pada rusak, dan kurang optimal. Padahal, biaya pengeboran rata-rata Rp 500 jutaan dan sebelumnya pakai penelitian dan design pakar. Sementara sumur sumur bir bantuan pihak ketiga dan swadaya cukup banyak yang berfungsi padahal biayanya dibawah 100 jutaan,” ujar Huda.
Huda meminta masalah kekeringan ini menjadi perhatian serius pemerintah pusat, Pemerintah DIY, dan Pemkab Gunungkidul. Sebab, Kabupaten Gunungkidul yang secara geografis memang berada diperbukitkan sehingga sumber air dipastikan cukup sulit Ketika musim kemarau tiba.
“Pemerintah mesti memperbaiki metode pemberian bantuan nya karena terlalu mahal dan banyak yang tidak berfungsi,” tandas Huda.
Selain itu, partisipasi warga juga harus diperhatikan, agar bisa dengan metode BKK ke desa atau metode lain yang lebih fleksibel penerapan nya. “Semestinya wilayah kekeringan ini dipetakan dengan baik sekaligus roadmap solusinya, jangan dibiarkan bertahun tahun seperti ini tanpa target jelas kapan penyelesaiannya,” terang Huda soal kekeringan di Kabupaten Gunungkidul. (*)
Pewarta | : Olivia Rianjani |
Editor | : Irfan Anshori |