Kopi TIMES

Sebelum MK Menjadi Perahu Rusak

Selasa, 06 Desember 2022 - 14:07
Sebelum MK Menjadi Perahu Rusak Ahmad Farisi, Peneliti pada Akademi Hukum dan Politik (AHP) Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pun ditolak dan dikritik banyak pihak. Namun akhirnya Guntur Hamzah (Sekjen MK) tetap dilantik sebagai hakim konstitusi menggantikan Aswanto yang diberhentikan secara sepihak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir September lalu. Pelantikan Guntur Hamzah itu berlangsung pada Rabu (24/11/2022), di Istana Negara. 

Ini sungguh jelimet. Di satu sisi, mengacu pada pengucapan sumpah yang telah dilakukan Guntur Hamzah, maka Guntur Hamzah sah menduduki jabatan sebagai hakim konstitusi. Namun, jika mengacu pada putusan MK yang dibacakan pada hari bersamaan dengan pelantikan Guntur Hamzah, maka kedudukan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi tidaklah sah sebab melanggar ketentuan uu. 

Dalam bagian pertimbangan pada Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022  MK menyatakan bahwa pemberhentian hakim konstitusi di luar ketentuan Pasal 23 UU No. 7/2020 tentang MK  adalah inkonstitusional. 

Akar Masalah

Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan DPR, namun sangat jelas bahwa akar masalah di balik sengkarut pemberhentian dan pengangkatan hakim konstitusi ini adalah kesewenang-wenangan DPR yang memberhentikan Aswanto sebagai hakim konstitusi dan lalu mengangkat Guntur Hamzah sebagai penggantinya pada saat bersamaan. 

Padahal, sangat jelas bahwa DPR tidak memiliki legal standing untuk memberhentikan hakim konstitusi. Pun pada kenyataannya DPR adalah salah satu lembaga pengusul daripada sembilan hakim MK bersama dua lembaga lainnya, yakni MA dan Presiden, di mana masing-masing diberi kewenangan mengajukan tiga orang hakim.

Menurut Pasal 23 UU No.  7/2020 tentang MK, hakim konstitusi hanya dapat diberhentikan apabila, pertama, meninggal dunia; mengundurkan diri; dan sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 

Kedua, karena dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; melakukan perbuatan tercela; tidak menghadiri persidangan yang menjadi kewajibannya selama lima kali berturut-turut; melanggar sumpah jabatan; menghambat MK memberi putusan; merangkap jabatan; tidak lagi layak; dan melanggar kode etik. 

Jadi, sangat jelas bahwa DPR sama sekali tidak punya kewenangan untuk ikut-ikutan memberhentikan hakim MK. Apalagi hanya atas dasar penilaian subyektif nan politis di mana Aswanto, sebagai hakim usulan DPR, dianggap tidak lagi mewakili kepentingan DPR karena kerap kali menganulir produk-produk legislasi DPR di MK. Inilah akar masalahnya. 

Masalah itu kian rumit pasca Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114 P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang mengangkat Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi menggantikan Aswanto. Padahal, sejak awal banyak pihak berharap agar Presiden tidak mengeluarkan Keppres.

Dengan tidak mengeluarkan Keppres, Presiden dengan kekuasaan presidensial yang dimilikinya diharapkan mampu menjadi “dewa penolong” yang akan menyelamatkan MK dari kehancuran. Namun, alih-alih mendengarkan berbagai masukan itu, justru Presiden malah tampak memberi restu dan bahkan juga ikut terlibat dalam gerakan politik DPR. 

Presiden sama sekali tidak membunyikan alarm perlawanan. Pun keputusan DPR jelas-jelas cacat hukum, Presiden sama sekali tak bergeming. Lebih lanjut, Presiden justru malah menerbitkan Keppres yang sejak awal diwanti-wanti agar tidak diterbitkan mengingat Keppres itu sangat menguntungkan DPR di satu sisi, dan merugikan MK di sisi lain. 

Karena itu, Keppres yang tidak mencerminkan profesionalisme politik itu sangat kita sayangkan. Seharusnya, dalam sengkarut pemberhentian dan pengangkatan hakim MK ini, Presiden mengacu pada aturan hukum yang ada. Bukan membebek pada keputusan politik yang tidak berdasar. Harusnya dalam masalah ini Presiden berpihak pada MK, bukan DPR. 

Namun, apa hendak dikata, di hadapan DPR, Presiden tampak kehilangan wibawa. Bahwa Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam kasus ini tampak sama sekali tak berdaya. Presiden tampak tak kuasa menghadapi manuver politik DPR. Bahkan, lebih jauh, Presiden juga tampak tak lebih dari sekadar ”stempel politik” DPR.

Harus batal demi hukum dan indepedensi MK

Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Itu artinya eksistensi MK tidak boleh direcoki oleh lembaga-lembaga politik mana pun. Pasal 23 UU No. 7/2020 juga menegaskan hakim konstitusi tidak bisa diberhentikan kecuali dalam dua hal: uzur atau terlibat tindak pidana dan yang lain sejenisnya. 

Karena itu, pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi itu harus batal demi hukum dan independensi MK. Yang dilanggar di sini bukan sebatas undang-undang biasa, tetapi juga induk dari undang-undang itu sendiri, yakni UUD 1945. Pelanggaran terhadap UUD adalah kejahatan politik yang tidak bisa ditoleransi.

Selain  alasan  inkonstitusional tersebut, langkah MK yang membacakan putusannya tentang pemberhentian dan pengangkatan hakim konstitusi dalam rentang waktu yang berdekatan dengan pembacaan sumpah jabatan Guntur Hamzah juga harus dipahami bahwa secara kelembagaan, MK sendiri tidak ”merestui” pengangkatan Guntur Hamzah itu. 

Jika pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah itu tetap diteruskan, bukan hanya dikhawatirkan, tetapi sudah pasti akan terjadi tarik menarik atau konflik kepentingan di tubuh MK ke depan. MK, alih-alih bakal menjadi lembaga pengawal konstitusi, yang ada keberadaannya hanya akan menjadi ”perahu rusak” yang terombang-ambing di tengah lautan kepentingan politik DPR.

Karena itu, sebelum benar-benar menjadi ”perahu rusak”, pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah itu harus batal.  (*)

*) Ahmad Farisi, Peneliti pada Akademi Hukum dan Politik (AHP) Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.