https://jogja.times.co.id/
Kopi TIMES

Post Power Syndrome Duryudana

Kamis, 02 Maret 2023 - 14:33
Post Power Syndrome Duryudana Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si adalah Dosen Fakultas Psikologi UAD

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Duryudana tetap berada di pembaringan. Secara fisik tak berfungsi. Seolah-olah ada banyak kunci di tubuhnya. Kunci ada di kaki, tangan, leher, maupun jari jemari yang menjerat seluruh badan. Kunci ini yang membuat dirinya tak bisa bergerak ke mana-mana. 

Anehnya. Otak masih normal  yang menjadikan Duryudana tetap dalam keadaan sadar. Pikiran waras. Apalagi daya imajinasi. Masih terbang jauh di atas awan. 

Pikiran dan imajinasi yang bisa dimanfaatkan dengan baik membikin Duryudana   tetap ingin menjadi raja Astina. Tak mau turun tahta. Meski sejatinya Duryudana sudah tidak optimal memimpin Astina. Duryudana tak berdaya lagi berposisi sebagai pusat kendali  mengelola kerajaan Astina.

Pikiran dan imajinasi  itu. Mengantarkan pada bayangan-bayangan peristiwa. Seperti saat dirinya berkunjung ke berbagai wilayah kekuasaan selalu dielu-elukan oleh rakyat. Ketika Duryudana berada dimana pun, penghormatan, sanjungan, dan pelayanan terbaik diterima oleh dirinya. 

Begitu juga semua orang yang berada di Astina tunduk padanya. Semua perintah yang menjadi titah raja. Selalu dilaksanakan. Tak ada yang membantah. Tak ada yang melawan. Tak ada yang berani makar pada Duryudana.

Apalagi fasilitas yang Duryudana nikmati. Selalu  di atas rata-rata. Melebihi dari semua orang yang tinggal di kerajaan Astina. Tak luput. Kekayaannya melimpah ruah. Ini menandakan  hasrat Duryudana yang bersifat duniawi seluruhnya terlampiaskan. 

Terlanjur memetik buah kenikmatan setinggi-tingginya menjadi raja. Membikin dirinya cemas. Setelah tidak menjadi raja. Segala kenikmatan yang selama ini dirasakan akan hilang. Ketika Duryudana mengundurkan diri sebagai raja. Masihkah menikmati segala fasilitas yang selama ini sudah dirinya dapatkan ? Masihkah rakyat berbodong-bondong menyanjungnya ? Masihkan punggawa kerajaan tunduk dan menghormatinya ?

Atau justru sebaliknya. Setelah Duryudana tak bertahta. Raja pengganti. Apalagi ketika yang dinobatkan adalah Yudistira mewakil keluarga Pandawa yang terkenal tegak dan lurus menjalankan amanah, terkenal sebagai pengayom rakyat, serta menjunjung keadilan. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan selama Duryudana sebagai raja akan diminta pertanggungjawaban dihadapan rakyat. Bisa-bisa dirinya masuk bui.

Pertanggungjawaban atas nama hukum itu yang benar-benar ditakuti oleh Duryudana. Ketakutan yang dirasakan oleh Duryudana memang tumbuh dengan sendirinya. Sebagai akibat ulah keluarga Kurawa yang dipercaya sebagai punggawa kerajaan. Tetapi mereka banyak melakukan pelanggaran hukum. Keluarga Kurawa menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.  Kepentingan yang beraroma politik maupun ekonomi. 

Bertindak tak sesuai aturan. Terasa manfaatnya buat keluarga Kurawa sendiri. Jabatan sebagai punggawa kerajaan Astina tak pernah diganti. Meski minim prestasi. 

Kekayaan yang dimiliki menjadi tidak wajar. Secara akal sehat. Penghasilan keluarga Kurawa yang diperolehnya sebagai birokrat tak akan mungkin bisa digunakan untuk menumpuk kekayaan yang amat besar. Maka keluarga Kurawa melalui jalan gelap untuk mengumpulkan pundi-pundi harta sebanyak-banyaknya.

Duryudana tahu. Keluarga Kurawa melakukan tindakan ilegal. Namun Duryudana menutup mata. Tidak ada kebijakan tegas menindak keluarga Kurawa yang jelas-jelas salah dalam menjalankan tugasnya sebagai punggawa kerajaan Astina.  Karena cara ini sebagai strategi agar keluarga Kurawa taat padanya. 

Kecemasan dan ketakutan yang dialami Duryudana. Setelah dirinya  tidak menjadi raja sesungguhnya sedang mengidap post power syndrome. Kelemahan Duryudana mengalami post power syndrome ini secara politis dimanfaatkan oleh Patih Sengkuni dan Begawan Durna. 

Mereka berdua terus menguatkan pada Duryudana dengan optimisme semu. Penyakit Duryudana akan cepat hilang dari tubuhnya. Duryudana akan lekas bugar.  Sakit yang menjalar dirinya. Tak menjadi hambatan Duryudana menjadi raja. 

Agar  Duryudana semakin terlena. Patih Sengkuni dan Begawan Durna minta bantuan tabit. Dan celakanya. Tabit itu adalah tabit jadi-jadian. Mereka berdua. Melakukan aksi tipu-tipu. Tabit yang diundang adalah tabit palsu. Tindakan mengundang tabit palsu hanya sebagai upaya melanggengkan sakit yang dialami Duryudana. Sehingga mereka berdua bisa bertindak semauanya karena tidak ada pengawasan dari Duryudana.

Tujuan lain mengundang tabit palsu adalah  mencuri hati Duryudana. Mereka berdua telah sangat perhatian. Harapannya Patih Sengkuni dan Begawan Durna terus dipercaya oleh Duryudana. Imbalannya adalah bisa bertahan dengan jabatannya sekarang. 

Termasuk dalam melaporkan setiap peristiwa hanya untuk menyenangkan Duryudana. Dampaknya adalah hampir semua yang dilaporkan adalah sesuatu yang tak sesuai. Seperti Duryudana berhasil membangun ekonomi kerajaan. Pembangunan ekonomi yang melebih dari target membuat rakyat hidup makmur, sejahtera, dan bahagia. 

Atas keberhasilan memimpin kerajaan Astina. Rakyat tak mempedulikan Duryudana sakit. Rakyat memaklumi kondisi kesehatan yang diderita oleh Duryudana. Rakyat tetap menginginkan Duryudana sebagai raja. Rakyat takut kalau pengganti raja tidak sebaik Duryudana. 

Cerita  tak sama dengan kenyataan yang disampaikan oleh Patih Sengkuni dan Begawan Durna untuk membesarkan hati Duryudana yang sedang dilanda kegelisahan sebagai dampak dari post power syndrome. Cerita tidak benar itu dapat dijadikan sarana mengurangi kecemasan dan ketakutan Duryudana. Obsesinya dukungan dari rakyat menjadikan kekuatan penting  menjadikan raja seumur hidup. Sehingga Duryudana tak merasakan lagi kesengsaraan setelah purna tugas sebagai raja. 

Meski kenyataan yang ada.  Cerita dari Patih Sengkuni dan Begawan Durna sama sekali berbeda dengan realitas. Sebenar-benarnya. Rakyat menginginkan perubahan. Ada raja baru yang memperlakukan rakyat dengan bijaksana dan adil. Ada raju baru yang seluruh jiwa raganya berkorban untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Ada raja  baru mampu menjadi pengayom. 

Dan keinginan rakyat itu. Tidak ada pada diri Duryudana. Rasa sakit membuat dirinya tak mampu lagi menjadi raja sesuai harapan rakyat. Akibat ketidakmampun sebagai raja. Rakyat mengalami hidup susah. Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari terasa sulit. Apalagi pemenuhan kebutuhan lain. Seperti kesehatan yang memadai, pendidikan anak-anak yang berkualitas, dan kebutuhan-kebutuhan berikutnya sebagai daya dukung membangun kesejahteraan tak akan mungkin rakyat peroleh.

Maka sesungguhhnya. Rakyat ingin pergantian raja secepatnya agar krisis yang dialami oleh kerajaan Astina segara teratasi. Namun Duryudana tidak memiliki kepekaan mengenai rakyat yang sudah tak menghendakinya lagi sebagai raja. Faktor penyebabnya adalah post power syndrome menggerogoti Duryudana. (4-Bersambung).

***

*) Penulis: Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.