https://jogja.times.co.id/
Kopi TIMES

Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan Terhadap Realitas Peradaban di Era Modern (Bagian 2)

Sabtu, 11 Februari 2023 - 08:06
Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan Terhadap Realitas Peradaban di Era Modern (Bagian 2) Wapres RI KH Ma'ruf Amin; Disampaikan dalam pidato Muktamar Internasional I Fiqih Peradaban dalam peringatan Satu Abad Nahdalatul Ulama di Surabaya Februari 2023

TIMES JOGJA, SURABAYA – >1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam konteks pembangunan peradaban, peran ilmu pengetahuan (sains) sangat penting, dan bahkan ia berfungsi sebagai kunci peradaban. Kunci ini harus dimiliki oleh manusia,sehingga kewajiban kita adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita sudah diperintah oleh Allah: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Arti “iqra’” bukan hanya berarti membaca atau melafazkan, karena kalau hanya melafazkan itu bukan “qirâah” tetapi “tilawah”. Kata “iqra’” mengandung arti membaca, merenungkan, dan meneliti segala apa yang ada, baik yang ada di dalam Quran maupun dalam tatanan kehidupan kita.

Dalam istilah lain, yang dibaca dan diteliti itu bukan hanya al-huruful Qur’âniyyah (ayat-ayat Qurâniyyah), tapi juga al-huruful ilâhiyyah al-maktûbah ‘ala shafahâtil maujûdât, huruf-huruf yang tertulis di dalam lembaran kehidupan (ayat-ayat kauniyyah), baik dalam bentuk ilmu-ilmu sosial (IPS), ilmu-ilmu alam (IPA), maupun humaniora. Dengan demikian, Islam tidak membenarkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Islam mengajarkan integrasi ilmu pengetahuan, karena kedua bentuk ilmu pengetahuan ini merupakan ayat-ayat Allah.

Dalam sejarah peradaban Islam, para ulama dan sarjana Muslim telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan secara komprehensif, termasuk ilmu-ilmu yang tergolong pada kelompok ayat-ayat kauniyyah tersebut. Namun kemudian, perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami kemunduran yang disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal umat Islam. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikembangkan kembali di kalangan umat Islam, di samping pendidikan ilmu-ilmu agama Islam (attafaqquh fiddîn).

Dengan demikian, tidak benar anggapan bahwa ilmu pengetahuan sebagai penyebab terjadinya kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini. Karena sebagaimana disampaikan di atas, ilmu pengetahuan merupakan kunci peradaban. Sumber kerusakan adalah nafsu serakah manusia yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan, seperti dalam Al-Quran Surat Al-Mu’minun 71: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.

2. Hubungan Antar-Kelompok Agama

Di antara hal yang menjadi perhatian dalam peradaban modern ini adalah pola hubungan antar-kelompok dalam sebuah masyarakat atau negara, yang idealnya didasarkan pada pengakuan akan pluralitas masyarakat serta prinsip toleransi dan kedamaian. Di antara hubungan antar-kelompok yang kini mendapatkan perhatian adalah hubungan antar-kelompok agama, karena konflik dan ketegangan antarumat beragama kini masih sering terjadi di banyak negara. Dalam konteks Islam pada masa lalu, terdapat dua pendapat tentang hubungan antara Muslim dan non-Muslim, yakni prinsip hubungan damai dan prinsip hubungan konflik.

Kedua pendapat ini masing-masing berdasarkan teks-teks Al-Quran dan Hadits, yang dipahami tidak terlepas dari konteks sosial politik yang ada. Di antara ulama pada masa lalu yang berpendapat hubungan damai adalah Ibnus Shalah sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Atsar al-Harb fî Fiqh al-Islâmî: Bahwa hukum asalnya adalah menetapkan orang-orang kafir dan mengakui eksistensi mereka, karena Allah tidak hendak menghancurkan makhluk dan tidak pula menciptakan mereka untuk dibunuh. Namun dibolehkan membunuh mereka dengan alasan madharat (kerusakan) yang timbul dari mereka sendiri, bukan karena kekafiran mereka.

Pada masa lalu, hubungan antara Muslim dan non-Muslim banyak diwarnai konflik atau ketegangan, sehingga fikih klasik mengelompokkan non-Muslim menjadi empat kategori, yakni: (1) dzimmî, yakni non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam (dâr al-Islâm) dengan membayar pajak (jizyah);(2) mu’âhad, yakni non-Muslim yang tinggal di wilayah non-Muslim yang memiliki perjanjian dengan wilayah Islam; (3) musta’man, yakni non-Muslim yang minta perlindungan keamanan di wilayah Islam; dan (4) harbî, yakni non-Muslim yang tinggal di wilayah perang (dâr al-harb).

Kelompok pertama, kedua, dan ketiga tersebut mendapatkan perlindungan dari pemerintahan di wilayah Islam. Perlindungan terhadap dzimmi antara lain berdasarkan Hadits: Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi (non-Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah (H.R. Thabrani). Perlindungan terhadap mu’ahad didasarkan antara lain pada Hadits: Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun (HR. Bukhari).

Sedangkan perlindungan terhadap must’man didasarkan pada Al-Quran Surat Al-Taubah:6 yang berbunyi: Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.

Namun pada saat ini, istilah-istilah tersebut sudah tidak dipergunakan di negara-negara Muslim. Dalam sebuah negara bangsa (al-daulah al-watahniyyah) penduduknya disebut muwâthîn (warga negara) apa pun agamanya. Hal ini karena semua warga negara sudah berjanji akan tunduk dan patuh kepada konstitusi dan hukum negara yang berlaku, sehingga memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sesama warga negara pun terikat dengan perjanjian untuk menjaga persatuan bangsa dan keamanan negara serta saling menghormati hak-hak asasi masing-masing.

Perjanjian ini kini berbentuk ideologi dan konstitusi negara, yang dalam Bahasa Arab disebut al-mîtsâq al-wathanî (perjanjian nasional), sedangkan negara disebut dârul mîtsâq (negara perjanjian), sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Quran Surat Al-Nisa’: 92: Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh).

Dalam konteks ini, para ulama dalam membahas Fiqhul Muwâthana (fikih terkait masalah kewarga-negaraan) didasarkan pada Piagam Madinah (Mîtsâq al-Madînah) dan menjadi rujukan bagi konsep al-mîtsâq al-wathanî (konsensus nasional). Sedangkan prinsip cinta tanah air didasarkan pada hadits: Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta terhadap Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang lebih besar dari itu (H.R. Bukhari).

Dengan perubahan kondisi tersebut di atas, maka mayoritas ulama pada saat ini berpendapat bahwa hubungan antara Muslim dan non-Muslim didasarkan pada prinsip hubungan damai, bukan hubungan konflik atau perang: Sesungguhnya Islam telah meletakkan dasar hubungan kaum Muslimin dengan selainnya berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan, bukan peperangan dan kekerasan.

Prinsip damai tersebut adalah sesuai dengan misi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn), sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya’:107. Prinsip tersebut juga sesuai dengan ajaran Islam tentang kebebasan dan toleransi beragama sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah: 256: Lâ ikrâha fîd dîn (tidak ada paksaan dalam beragama) dan Surat A-Kafirun: 6: lakum dînukum wa liya dîn (bagimu agamu, bagiku agamaku).

Dalam  hal ini Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah dalam I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-’ Âlamîn mengatakan: Sesungguhnya syariat itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hamba-Nya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhan adalah keadilan, rahmat, kebijaksaanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada kemafsadatan, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syariat, meskipun semua dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi. Maka, syariat adalah keadilan Allah di antara hamba hamba-Nya, rahmat Allah di antara makhluk-makhluk-Nya, aturan-Nya di bumi-Nya, kebijaksanaan-Nya yang menunjukkan atas eksistensi-Nya dan atas kebenaran Rasul- Nya SAW dengan sesempurna-sempurna petunjuk dan kebenarannya.

Sejalan dengan prinsip tersebut, konsep jihad yang dikemukakan oleh ulama terdahulu pun perlu ditinjau ulang (i’âdatun nazhar). Mayoritas ulama pada masa lalu mendukung konsep jihad secara ofensif (hujûmiyyah), karena kondisi kehidupan pada waktu itu banyak diliputi oleh konflik dan perang antar-kelompok masyarakat. Di samping itu, pada waktu itu belum ada badan tingkat nasional maupun internasional yang mengatur dan mengawasi hubungan antar-kelompok dan antar-bangsa. Sebaliknya, mayoritas ulama pada masa kini mendukung konsep jihad defensif (difâ’iyyah), yang juga tidak terlepas dari kondisi dunia modern ini yang mengedepankan prinsip perdamaian dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan antar-bangsa (internasional).

Jihad perang sebenarnya merupakan suatu tindakan yang semula dilarang oleh Allah, tetapi kemudian diizinkan karena adanya serangan dari kaum musyrikin yang bertubi-tubi terhadap kaum Muslimin, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surat Al Hajj: 39: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar- benar Maha Kuasa menolong mereka itu.

Jihad perang melawan orang-orang kafir yang dilakukan oleh Nabi dan sahabat bukan disebabkan oleh kekafiran mereka, tetapi karena mereka terlebih dahulu melakukan penyerangan (hirâbah) terhadap kaum Muslimin. Memang terdapat sejumlah ayat yang secara harfiah berarti jihad perang secara ofensif, sebagaimana yang pada saat ini dipahami oleh kelompok-kelompok radikal dan ekstrem. Namun jika dilihat dari segi konteks susunan ayat dan konteks turunnya ayat (asbâbun nuzûl), ayat-ayat “jihad ofensif” itu sebenarnya menunjukkan perintah perang secara defensif, yakni tindakan pertahanan terhadap siapa pun yang terlebih dahulu melakukan penyerangan terhadap kaum Muslimin.

3. Hubungan Internasional

Islam sejak awal telah memberikan pedoman tentang hubungan antarkelompok dan antar-kerajaan, yang dalam konteks masa kini disebut sebagai hubungan antar-bangsa (hubungan internasional). Al-Quran dan Hadits telah memberikan acuan normatif, yang kemudian dirumuskan oleh sebagian ulama pada masa lalu dalam bentuk fiqh al-siyar (berarti fikih perjalanan), sebagaimana diuraikan oleh Muhammad bin Hasan al-Syaibani (w.189 H) dalam kitabnya berjudul Kitâb al-Siyar al-Kabîr.

Sedangkan para ulama masa kini menyebut: “al-‘alâqah al-dauliyyah (hubungan internasional) sama dengan istilah yang dipergunakan oleh badan-badan dunia dan ilmu hubungan internasional. Di antara ayat Al-Quran yang menunjukkan tentang hubungan antar-bangsa ini adalah Al-Quran Surat Al-Hujurat: 13: Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Ayat tersebut menunjukkan, bahwa pengelompokan manusia sebagai penduduk dunia ini dalam bentuk suku-suku dan bangsa-bangsa sesuai dengan realitas yang ada pada saat ini. Dalam keragaman suku, bangsa, serta budaya dan peradaban ini, hubungan di antara mereka harus berdasarkan prinsip “ta’âruf” (saling mengenal).

 Pada masa lalu, konsep negara-bangsa (nation-state) memang belum lahir dan batas-batas wilayah suatu kerajaan atau imperium pun belum jelas. Namun, sejak adanya Perjanjian Westphalia pada 1648, konsep nation-state (al-daulah al-wathaniyyah) dan batas-batas wilayah kedaulatan pun semakin jelas. Oleh karena itu, para ulama pada masa lalu tidak ada yang membahas konsep negara-bangsa ini. Negara (al-daulah) dalam sejarah Islam berbentuk khilafah, yang tidak dibatasi dengan wilayah-wilayah geografis tertentu. Namun pada saat ini, sebagian besar ulama telah berijtihad untuk melegitimasi konsep negara-bangsa, karena hal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan konsep negara-bangsa sebenarnya merupakan pelembagaan dari konsep “syu’ûb” (bangsa-bangsa) yang disebutkan dalam ayat tersebut di era modern.

Dari segi sumbernya, sebenarnya terdapat perbedaan antara hukum internasional dan hukum Islam yang bersumber dari wahyu yang kemudian dikembangkan dalam bentuk ijtihad kontekstual dengan perkembangan zaman. Meski demikian, pada saat ini mayoritas ulama berpendapat, bahwa secara umum terdapat kesesuaian antara prinsip-prinsip hukum internasional modern dan prinsip- prinsip hukum Islam, terutama dalam bentuk perjanjian-perjanjian (‘uhûd dan mawâtsiq), kebiasaan-kebiasaan (‘âdât), dan rasio (‘aql), yang juga diakui oleh hukum Islam. Kedudukan perjanjian dalam sebuah negara atau antara satu negara dengan lainnya ini sangat mengikat dan harus dipatuhi. Dalam perspektif fikih, perjanjian yang dilakukan oleh seorang Muslim atau sebuah negara Muslim, baik dengan sesame Muslim maupun dengan non-Muslim, mengikat menurut agama, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al- Nisa’: 92 di atas.

Pada saat ini, perjanjian internasional merupakan sumber utama bagi hukum internasional, sehingga negara-nagara Muslim terikat dengan hukum internasional ini, terutama perjanjian yang sudah diratifikasi suatu negara Muslim tertentu. Menurut Wahbah al-Zuhaili, perjanjian dalam Islam bukan hanya secarik kertas untuk menipu pihak lawan, atau kedok untuk pelaksanaan tujuan pribadi tertentu, atau slogan bagi yang kuat untuk memaksakan kehendak mereka, tidak pula untuk menciptakan perdamaian yang zalim yang tidak berdasarkan kebenaran dan keadilan. Perjanjian dalam Islam dilindungi dari pengkhianatan, penipuan, dan penindasan. Al-Quran memerintahkan umat untuk memenuhi perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah: 1: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji.

Sebagaimana dalam hal hubungan antar-kelompok masyarakat, hubungan antar-bangsa (hubungan internasional) juga didasarkan atas prinsip perdamaian. Perjanjian-perjanjian dan prinsip perdamaian antar-bangsa tersebut saat ini di bawah koordinasi dan pengawasan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB, United Nations), yang didirikan pada 1945 setelah Perang Dunia II, sebagai kelanjutan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB, League of Nations) yang didirikan pada 1920 setelah Perang Dunia I.

Dalam perspektif Islam, PBB merupakan lembaga yang memiliki legitimasi karena telah disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia yang menurut pandangan Islam dapat dikatakan sebagai konsensus internasional (al-mîtsâq al-‘âlamî) yang keputusannya harus dipatuhi oleh seluruh anggota. Hanya saja, dalam kenyataannya perjanjian internasional yang telah diputuskan oleh PBB tidak sedikit yang dilanggar, sehingga sering kali terjadi konflik antarnegara, seperti pendudukan Israel di Palestina, serangan multinasional terhadap Irak dan perang Rusia-Ukraina, yang berdampak secara global.

Oleh karena itu, PBB harus diperkuat dengan memberikan kesetaraan hak antaranggota dan menambah representasi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai hak veto dari negara berkembang. Selain itu, perlu diperbanyak forum-forum internasional yang memberi pengaruh kuat terhadap PBB.

Penutup

Sebagai penutup perlu digarisbawahi, bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis dan fleksibel, yang mampu merespons semua persoalan baru yang timbul dari perubahan sosial dan perkembangan zaman. Para ulama pun sudah merumuskan metodologi ijtihad atau istinbâth untuk memahami nash-nash (teks-teks) Al-Quran dan Hadits, termasuk ketika muncul permasalahan baru dan terbarukan (al-masâil al-jadîdah wal mustajaddah) yang tidak ada nashnya dan belum ada pendapat di dalam kitab-kitab standar (al-kutub al-mu’tabarah).

Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama (NU) telah memiliki rumusan Fikrah Nahdliyyah, yang menunjukkan khashâish (karakteristik) pemikiran NU serta metode pengambilan keputusan hukum, baik secara qauli maupun manhajî. Dengan metode tersebut, NU dapat merespons persoalan-persoalan baru dan terbarukan (al-masâil al-jadîdah wal mustajaddah) atau menelaah ulang (i’âdatun nazhar) hukum-hukumnya, termasuk merespons berbagai masalah yang muncul dalam peradaban-peradaban di dunia pada saat ini. Terlebih lagi, dengan prinsip ةظفاحملاحلصﻷا ديدجلاب ذخﻷاو حلاصلا ميدقلا ىلع (menjaga legasi dan tradisi yang tetap maslahat atau bermanfaat dan mengambil hal-hal baru yang lebih maslahat atau bermanfaat bagi umat), NU dapat melakukan inovasi-inovasi baru untuk memperkuat peradaban Islam yang ada.

Di antara praktik peradaban yang dihasilkan oleh NU dan umat Islam di Indonesia yang bisa berbagi untuk masyarakat dunia adalah kontribusi NU bagi penguatan toleransi dan persatuan umat dan bangsa, yang dirumuskan dalam bentuk tiga pilar persaudaraan, yakni persaudaraan Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), persaudaraan nasional (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insâniyyah).

Di sisi lain, umat Islam di Indonesia juga telah menunjukkan kemampuannya dalam memadukan Islam dan demokrasi secara damai. Hal ini sekaligus juga akan menghilangkan persepsi negatif pihak-pihak di luar Islam, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang mendukung kekerasan dan perang.

Ke depan, para ulama, tokoh Islam, dan negara Muslim di dunia seyogyanya ikut ambil bagian dalam perumusan tatanan global demi terwujudnya peradaban dunia yang adil dan damai, dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan global yang dihadapi, terutama kemiskinan, konflik, perang, dan kerusakan lingkungan. Dalam konteks ini, seluruh bangsa di dunia seyogyanya mendukung substansi etika global, yakni saling memahami, saling menghormati, saling ketergantungan, dan kerja sama di antara bangsa-bangsa di dunia.

 

*) Oleh: Oleh: Wapres RI KH Ma'ruf Amin; Disampaikan dalam pidato Muktamar Internasional I Fiqih Peradaban dalam peringatan Satu Abad Nahdalatul Ulama di Surabaya Februari 2023

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

 

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.