https://jogja.times.co.id/
Kopi TIMES

Surat Terbuka Semar

Selasa, 14 Maret 2023 - 16:22
Surat Terbuka Semar Penulis Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si adalah dosen Fakultas Psikologi UAD

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Semar memilih beberapa kulit sapi terbaik. Sesudah menemukan kulit sapi yang diinginkannya. Lalu dijemur sampai kering. Pekerjaan Semar berikutnya adalah membersihkan bulu-bulu yang ada pada kulit sapi. Tak ada satu pun bulu yang masih menancap pada kulit sapi. 

Untuk memastikan kulit. Benar-benar siap pakai. Semar menjemur lagi. Sekering-keringnya. Sehingga tak ada lagi bau yang ditimbulkan dari kulit sapi. Tentu saja dalam mengerjakan proyek ini. Semar tidak sendirian. Gareng, Petruk, dan Bagong setia membantu Semar mengolah kulit agar  bisa digunakan oleh Semar.

Proses pengerjaan kulit selesai. Semar menginstruksikan pada anak-anaknya untuk mempersiapkan alat ukir. Apa saja alat ukir yang dibutuhkan oleh Semar ? Anak-anaknya sudah hafal. Satu persatu. Alat ukir itu dikumpulkannya. Tak ada satu pun tercecer. Lengkap.

Semar tahu. Anak-anaknya memahami segala sesuatu yang dibutuhkan Semar. Hal ini yang menjadikan pekerjaan Semar lebih ringan. Semar tinggal mencermati persiapan teknis. Ternyata  memadai. Semar ambil langkah melakukan pekerjaan inti

Semar mulai mempersiapkan diri secara spiritual. Pengembaraan spiritual ini dijalankan untuk menjaga hati dan pikirannya. Agar tindakan yang dilakukan tidak dipengaruhi oleh nafsu duniawi. 

Semar ingin merawat batinnya. Tindakan yang dipilih  merupakan bagian dari penghambaan terhadap yang Maha Pemberi Hidup. Berpondasi pada laku spiritual tersebut membuat nurani Semar selalu jernih  membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, menyuarakan kemanusiaan, dan membersihkan kebatilan.  

Atas landasan nuraninya yang bening. Semar mengukir satu per satu kulit sapi yang telah disiapkan sebelumnya. Judul yang dia ukir adalah “Surat Terbuka Semar”. 

Setelah mengukir judul. Mengalir begitu saja. Tak hanya sekadar logika berpikir. Namun suara batinnya yang menggerakkan Semar. Tak kehabisan  gagasan untuk mengukir pada kulit sapi. 

“Saudara Ku.” Sapaan pembuka. Menghela nafas. Semar melanjutkan tulisannya dengan menorehkan pahatan pada kulit sapi. “Kita. Sebagai rakyat memang harus punya kesabaran berlebih. Jangan sampai kesabaran habis. Berubah menjadi kemarahan. Karena kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah. Kemarahan hanya bikin kerajaan Astina dan kerajaan sekitarnya hancur lebur.” Begini yang disampaikan Semar pada bagian pembuka. 

Ide Semar ternyata lancar mengalir. Energinya terus hadir dituangkan dalam  kata, kalimat, dan paragrap. Tak pernah merasa lelah. Tangan. Jari. Jemari. Alat ukir. Berpadu. Menari-nari di arena  kulit sapi.

“Mengapa sebagai rakyat harus memiliki kesabaran tanpa batas ? Ibarat sumur tanpa dasar. Kesabaran kita jangan sampai berhenti pada lapisan dasar. Seandainya berhenti. Bisa jadi ledakan emosi. Maka  pertumpahan darah antar kita akan terjadi di Astina. Tak lupa Pandawa juga kena getahnya. Pandawa dapat porak-poranda.”

Semakin ke sana tulisan Semar semakin menggetarkan kalbu. Gareng, Petruk, dan Bagong dibuat merinding. Setelah menyimak dengan seksama. Mereka. Hanya bisa membaca. Tak ada kalimat pertanyaan terlontar. Tak ada sanggahan.  Diam. Meski hatinya bergejolak. Membaca tulisan Semar yang terukir pada kulit sapi. 

“Rakyat harus punya kesabaran. Karena satu-satunya yang memiliki kesabaran di negeri Astina adalah rakyat. Raja yang secara ideal memberi tauladan tentang kesabaran. Ternyata tidak memiliki kesabaran. Buktinya. Duryudana tak memiliki kesabaran untuk menghadapi pensiun sebagai raja. Sakit yang dideritanya. Tak cukup membuat dirinya sabar mencari pengganti. Raja tetap ingin melanggengkan kekuasaan. Tak ingin orang lain menjadi generasi penerus raja.”

Semar menyentuh kening. Alat ukir diletakkan. Semar ingin mengambil sesuatu. Namun rupanya tak ada. Tanpa diperintah. Punakawan mengerti. Semar merasa haus. Kali ini Petruk yang sigap mengambil minum kesukaan Semar. Seduan teh nasgitel. Panas, legi, dan kenthel. 

Selain itu keringatnya mulai bercucuran.  Bagong yang menyiapkan kain untuk mengusap keringat agar tidak jatuh pada kulit sapi. 
Giliran Gareng yang memijat pundak Semar. Barangkali membuat surat terbuka berbahan kulit sapi. Capek juga. 

Berkah dari kesigapan Gareng, Petruk, dan Bagong. Membuat Semar tak ada kendala menulis surat terbuka. Tak perlu mempersiapkan hal-hal teknis. Ini yang membikin Semar fokus. Buah pikirannya terus berjatuhan.

“Apalagi para punggawa. Tanpa disadarinya. Menjadikan rakyat sebagai sumber upeti. Caranya adalah menaikkan pajak kerajaan setinggi-tingginya. Karena punggawa kerajaan Astina hanya mampu mengambil sumber negara dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Kebijakan ini diberlakukan oleh punggawa dengan latar belakang. Sesungguhnya mereka tidak memiliki keterampilan  untuk memperoleh sumber keuangan dari kerajaan lain. Saudagar-saudagar dari kerajaan lain tak mau membuka usaha di Astina karena punggawanya tak memberikan suasana nyaman.

Perijinan yang berbelit-belit. Usaha belum berjalan sudah menarik upeti. Dan kerajaan Astina dalam kondisi rawan keamanan. Faktor ini yang menyebabkan saudagar dari luar kerajaan tak mau berdagang di Astina.”

Menuntaskan satu paragrap. Semar berdiri. Meliukkan tubuh. Kekiri dan kekanan. Kedepan dan kebelakang. Kepalanya diangguk-anggukan. Menggeleng. Diputar-putar. Barangkali Semar sudah mulai letih. 

Gareng, Petruk, dan Bagong saling berpandangan. Berharap Semar tak berhenti mengukir. Mereka bertiga penasaran lanjutan dari surat terbuka yang ditulis oleh bapaknya tersebut. Namun punakawan tak berani menegur. Takut konsentrasi bapaknya buyar.

Rupanya Semar hanya ingin relaksasi untuk melemaskan otot dan persendian. Teryata energi Semar mengukir surat terbuka pada kulit sapi. Masih utuh. Tak berkurang sedikit pun. Punakawan kegirangan. Rasa penasaran. Apa yang mau ditulis Semar ? Segera tertuntaskan.

“Celakanya. Uang kerajaan yang bersumber dari memeras rezeki rakyat melalui pajak tidak digunakan sepenuhnya untuk mendukung kemakmuran. Namun jumlahnya sangat besar. Uang rakyat yang terkumpul dari pajak ditimbun oleh punggawa. Uang itu digunakan untuk bermewah-mewah. Mereka menggunakan uang itu memuaskan pemenuhan kebutuhan materi secara berlebihan. Kondisi tersebut berbeda dengan kenyataan di bawah. Rakyat sedang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok terasa susah untuk rakyat peroleh.”

Membaca surat terbuka. Ada pertanyaan kritis dari Petruk. Sudah menunggu sejak awal surat terbuka ditulis.  Belum menyoal para politisi kerajaan Astina. Petruk hanya bisa bertanya dalam hati. Tak berani menyampaikan langsung pada Semar. Ini Petruk lakukan untuk menjaga konsentrasi Semar. 

Betapa senangnya Petruk. Mengenai politisi yang ingin ditulis pada surat terbuka menjadi kenyataan. Semar mulai menuliskan tentang politisi kerajaan.

“Wahai saudara Ku. Mengenai politisi. Percayalah. Sejatinya mereka tidak memikirkan rakyat. Tidak memperjuangkan nasib rakyat yang hidup susah. Para politisi. Sebenarnya sedang memikirkan diri sendiri. Mengusahakan agar tetap berada di lingkaran kekuasaan. Mereka tengah bertarung memperebutkan posisi terbaik di kerajaan Astina. Dampaknya mereka mengalami kecemasan bisa terlempar dari kedudukan. Maka dalam situasi seperti ini. Mereka memusatkan perhatiannya untuk  memperjuangkan nasib sendiri. Tidak ada yang tersisa untuk membantu rakyat.”

Petruk puas. Suara hatinya sudah terwakili oleh surat terbuka Semar. Gantian Bagong bertanya-tanya. Kalau keadaan sudah begitu runyam. Rakyat harus berbuat seperti apa ? Seharusnya Semar memberi strategi agar rakyat tetap tabah berada dalam situasi kerajaan Astina yang berada dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Sebagai rakyat. Tak boleh lepas dari kendali kesabaran. Tetap sabar. Berusaha mandiri. Tak perlu bergantung pada punggawa atau politisi kerajaan Astina. Tanpa mereka. Sesungguhnya rakyat bisa menghidupi diri sendiri. Dan sesungguhnya rakyat yang menghidupi mereka. Kesadaran ini yang seharusnya membuat rakyat bangga dan percaya diri. Hidup merdeka. Tidak terjebak pada arus kekuasaan. Kalau  kesadaran tersebut tumbuh menjadikan rakyat bisa merawat kesabaran.” 

Semar memungkasi surat terbuka. Semar meminta Gareng, Petruk, dan Bagong menggandakan sebanyak-banyaknya untuk dikirim ke raja, punggawa, dan politisi kerajaan Astina dan kerajaan-kerajaan sekitar. Semar juga meminta punakawan untuk membacakan di pasar-pasar dan pusat keramaian lainya. Strategi tersebut sebagai upaya Semar melakukan perubahan jaman ke arah lebih baik melalui surat terbuka (6-bersambung).

***

*) Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si, dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.