TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Hari ini, tepat 59 tahun yang lalu, peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi salah satu halaman suram dalam sejarah kemanusiaan Indonesia. Bagaimana tidak? Pada malam 30 September hingga 1 Oktober, 10 orang menjadi korban, termasuk 6 perwira tinggi dan 4 perwira menengah hingga pangkat kolonel, yang kemudian dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Revolusi.
Peristiwa tersebut tersebar di masyarakat sebagai alasan pembenaran atas pembunuhan massal yang dijadikan dasar legitimasi sejarah. Paradigma ini telah lama menjadi bahan perdebatan, baik di kalangan masyarakat umum, akademisi, maupun elit kekuasaan. Hal ini menciptakan paradoks dan memicu kecaman dari berbagai pihak, yang masih segar dalam ingatan kita.
Contohnya, melalui Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 19/A/JA/03/2007 yang dikeluarkan pada 5 Maret 2007, peredaran buku teks sejarah tertentu, khususnya yang membahas peristiwa seperti pemberontakan Madiun 1948 dan peristiwa 1965, dilarang. Jika buku-buku tersebut tidak mencantumkan "PKI" atau tidak menyebutkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI), buku-buku tersebut harus dimusnahkan.
Jika kita telaah secara kritis sikap pemerintah melalui pengesahan surat keputusan tersebut, tampak seolah-olah penambahan kata tersebut dipaksakan untuk menjawab pertanyaan mengenai siapa yang menjadi dalang di balik peristiwa tersebut. Kesimpulan sejarah ini akan valid jika didukung oleh bukti-bukti yang tak terbantahkan dan diakui secara luas sebagai fakta sejarah.
Pertanyaannya, mengapa banyak sejarawan yang masih belum menerima jawaban tersebut? Tentu hal ini mengganggu logika kita, karena jawaban tersebut belum dianggap final. Ada banyak aspek aneh dan tidak terjelaskan terkait peristiwa G30S PKI. Hingga kini, masyarakat Indonesia masih menunjukkan kebingungan tentang peristiwa tersebut. Namun, kita tetap berharap untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai hal itu.
Sejak berakhirnya kekuasaan Suharto pada tahun 1998, kita tidak pernah membayangkan bahwa satu dekade setelah Orde Baru, pemerintah masih terus melarang buku-buku yang tidak sejalan dengan propaganda rezim sebelumnya. Hingga kini, Rezim Orde Baru tetap menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas G30S PKI. Klaim seperti itu bisa dianggap sebagai hipotesis, namun kita seharusnya tidak dengan mudah menerima bukti dangkal untuk mencapai kesimpulan.
Jika kita memahami sejarah tersebut secara menyeluruh, menurut seri buku FRUS (Foreign Relations of the United States) yang diterbitkan oleh Kantor Sejarawan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, PKI memiliki sekitar 3,3 juta anggota pada masa Pemilu pertama 1955-1958. Pemerintah seharusnya mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang sebenarnya mengorganisir gerakan tersebut.
Apakah seluruh 3,3 juta anggota partai bertanggung jawab? Atau hanya sebagian? Atau mungkin hanya pimpinan partai? Namun, yang terjadi justru masyarakat seolah diarahkan untuk mempercayai bahwa tidak hanya seluruh anggota partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa pun yang berhubungan dengan partai tersebut.
Sebagai perbandingan historis, sebelum 1965 pemerintah Indonesia tidak pernah menerapkan prinsip kesalahan kolektif pada kelompok masyarakat tertentu. Misalnya, dalam perjuangan kemerdekaan antara 1945-1949, kaum nasionalis tidak membunuh orang-orang Belanda hanya karena mereka merupakan warga negara Belanda. Demikian pula, setelah pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir 1950-an, pemerintah tidak mengambil tindakan represif dengan membubarkan PSI dan Masumi, meskipun para pemimpin kedua partai terlibat dalam pemberontakan.
Pada era Soekarno, meski terjadi perlawanan bersenjata oleh Darul Islam, Soekarno memilih untuk mengampuni anggotanya, kecuali pemimpin-pemimpin utamanya. Dalam konteks ini, bayangkan jika prinsip kesalahan kolektif diterapkan pada anggota Golkar saat ini; apakah semua anggota Golkar di era Orde Baru harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan rezim Suharto?
Salah satu sumber dokumen yang akurat ditemukan oleh seorang ilmuwan dari Cornell University, Prof. Anderson, dalam artikelnya "How did the Generals Die" (April 1987), mengenai peristiwa G30S, menunjukkan hasil Visum et Repertum yang dilakukan oleh para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto terhadap jasad para perwira yang ditemukan di Lubang Buaya.
Hasil visum menunjukkan bahwa para perwira terbunuh oleh tembakan dan luka-luka tusukan bayonet, bukan karena diiris-iris dengan silet, mata dicungkil, atau dimutilasi. Dari laporan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh media yang dikendalikan oleh Angkatan Darat pada akhir 1965 tentang pembunuhan para perwira tersebut adalah tidak benar.
Menurut penulis, semua sandiwara peristiwa ini tidak terlepas dari kepentingan konflik Perang Dingin antara negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet (sebelum runtuh pada 1990).
Seharusnya kita mau berpikir secara rasional dan objektif mengenai siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Pernyataan yang tidak jelas dan tidak memberikan manfaat hingga saat ini di Indonesia cenderung mempertahankan pengelompokan posisi, apakah sebagai pro-PKI atau anti-PKI.
Dalam sebuah majalah mahasiswa Indonesia di Berlin Barat, Gotong Royong (Maret 1984), Pipit Rochiat menulis dengan pemikiran yang jelas tentang ungkapan "Saya PKI atau Bukan PKI?" Ia menyatakan keberatannya terhadap kecenderungan seperti itu yang dianggapnya sebagai sampah, yang hanya menciptakan dikotomi konservatif dan mengabaikan peran serta aksi-aksi PKI sebelum 1965. Selain itu, ia juga menolak untuk membenarkan kekerasan massal yang ditujukan kepada PKI setelah tragedi Gerakan 30 September 1965.
Terlepas dari semua hal di atas, kita seharusnya memahami dan merasakan duka yang mendalam, terutama perasaan keluarga para korban dari peristiwa pemberontakan di Madiun 1948, korban pemberontakan 1965, serta para korban kekerasan pasca Gerakan 30 September (G30S).
***
*) Oleh : Rahmat Saleh, S.E., M.Ec., Dev., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan, Aktif di Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI), Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |