TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Mengapa siswa Papua lebih sulit belajar bahasa Indonesia, khususnya membaca pemahaman dan menulis?

Siswa Papua dianggap kurang dalam kompetensi literasi. Kita mungkin terperangah, ternyata jumlah bahasa daerah/suku di Papua kurang lebih 326 bahasa. Bisa dibayangkan, wilayah yang hanya dibatasi sungai pun dapat memiliki bahasa yang berbeda. 

Banyaknya suku dan bahasa yang berbeda, siswa seringkali kesulitan dalam memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang diajarkan di sekolah. Selain itu, frasa lisan bahasa Indonesia di Papua menggunakan hukum M-D, umunya bahasa Indonesia adalah D-M. Misalnya: pensil saya, di Papua dikatakan saya pu pensil. Kebiasaan lisan ini berpengaruh pada kemampuan memahami makna kalimat gramatikal bahasa Indonesia.

Jika dibandingkan dengan siswa Jawa, kemampuan membacanya lebih cepat, ternyata jumlah kosakata serapan bahasa Jawa jumlahnya sangat banyak. Sejak lahir, anak Jawa lebih mudah memahami bahasa Indonesia karena relatif banyak kata yang sama dengan bahasa Jawa. 

Kurangnya fasilitas dan dukungan untuk pendidikan. Di beberapa daerah Papua, infrastruktur pendidikan yang memadai masih terbatas. Misalnya, sekolah belum dilengkapi dengan perpustakaan dan sumber daya pembelajaran yang memadai. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran siswa dan kemampuan mereka dalam membaca.

Faktor kurangnya akses terhadap buku dan literasi. Di daerah pedalaman Papua yang terpencil, seringkali sulit untuk menemukan buku-buku dan perpustakaan yang memadai. Hal ini membuat siswa kesulitan untuk membaca dan meningkatkan kemampuan literasinya.

Salah satu solusi konkretnya adalah dengan Buku Paket Kontekstual Papua (BPKP). BPKP adalah sebuah buku pendidikan yang dirancang untuk memfasilitasi siswa di Papua dalam memahami dan mempelajari mata pelajaran dalam konteks budaya dan kehidupan sehari-hari mereka. Buku paket kontekstual Papua disusun dengan memperhatikan keanekaragaman bahasa, budaya, dan kehidupan masyarakat Papua, sehingga siswa dapat lebih mudah memahami dan mempelajari mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. BPKP diinisiasi oleh Bapak Martijn van Drijl melalui Yayasan Kristen Wamena.

Buku ini juga bertujuan untuk meningkatkan kecintaan siswa terhadap budaya dan identitas Papua, serta membantu siswa dalam memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk hidup mandiri dan berkontribusi bagi masyarakat mereka di masa depan. Program ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Papua, dan telah diimplementasikan di beberapa sekolah di Papua sejak tahun 2006. Isi BPKP berbasis segala hal tentang Papua. Berikut gambaran isi BPKP:

1. Bahasa Papua: Pengantar bahasa Papua dan penjelasan tentang aspek-aspek kehidupan budaya Papua yang terkait dengan bahasa.
2. Sejarah Papua: Penjelasan tentang sejarah dan perkembangan Papua, serta kehidupan masyarakat Papua sebelum dan sesudah era kolonialisme.
3. Geografi Papua: Penjelasan tentang geografi dan lingkungan alam Papua, serta cara masyarakat Papua memanfaatkan sumber daya alam.
4. Matematika: Contoh perhitungan yang berbasis pada kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, seperti pengukuran dan perhitungan jarak tempuh dalam perjalanan tradisional.
5. Ilmu Pengetahuan Alam: Penjelasan tentang flora dan fauna Papua, serta hubungan masyarakat Papua dengan alam.
6. Seni dan Budaya Papua: Penjelasan tentang seni, budaya, dan kepercayaan masyarakat Papua, serta bagaimana seni dan budaya ini diwariskan dari generasi ke generasi.
7. Pendidikan Kewarganegaraan: Penjelasan tentang nilai-nilai kewarganegaraan dan konstitusi Indonesia dalam konteks budaya dan kehidupan masyarakat Papua.
8. Isi buku paket kontekstual Papua akan selalu disesuaikan dengan konteks budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, sehingga siswa dapat lebih mudah memahami dan mempelajari materi pelajaran.

Penggunaan BPKP perlu diperluas. Salah satu upaya telah dilakukan oleh Universitas Sanata Dharma. Melalui hibah pemerintah Program Organisasi Penggerak (POP), Sanata Dharma telah mengirimkan ribuan buku ke Kabupaten Mappi dan Asmat di Papua.

Buku tersebut menjadi jembatan yang baik untuk proses membaca anak, khususnya membaca permulaan di sekolah dasar. Selain itu, masih sangat dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, beberapa hal masih dapat dilakukan, misalnya:

1. Melakukan kampanye dan promosi: Melakukan kampanye dan promosi tentang keuntungan dan manfaat yang dapat diperoleh siswa dengan mempelajari mata pelajaran dalam konteks budaya Papua dan kehidupan sehari-hari mereka.
2. Mengadakan workshop dan pelatihan: Mengadakan workshop dan pelatihan untuk guru dan staf sekolah, sehingga mereka dapat memahami dan mengimplementasikan buku paket kontekstual Papua dengan lebih baik.
3. Mendorong partisipasi orang tua: Mendorong partisipasi orang tua dalam mempromosikan dan mengapresiasi buku paket kontekstual Papua, sehingga mereka dapat memberikan dukungan dan motivasi pada anak-anak mereka untuk mempelajari materi pelajaran dengan lebih baik.
4. Menyediakan akses mudah: Menyediakan akses mudah dan terjangkau terhadap buku paket kontekstual Papua, baik melalui perpustakaan, toko buku, atau daring.
5. Membuat program pelatihan untuk penulis dan penyunting: Membuat program pelatihan untuk penulis dan penyunting agar buku paket kontekstual Papua dapat dihasilkan dengan kualitas yang baik dan akurat.
6. Melakukan kolaborasi dengan komunitas lokal: Melakukan kolaborasi dengan komunitas lokal, seperti lembaga kebudayaan dan tokoh-tokoh masyarakat, untuk mempromosikan dan mengembangkan buku paket kontekstual Papua.
7. Menyediakan akses gratis: Memberikan akses gratis pada buku paket kontekstual Papua, khususnya bagi siswa dan sekolah yang memiliki keterbatasan akses terhadap sumber daya pendidikan.
8. Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, diharapkan buku paket kontekstual Papua dapat semakin dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat Papua, serta dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Papua.

***

*) Oleh: Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.