Kopi TIMES

The Social Dilemma: Menelisik Candu dan Algoritma Media

Jumat, 27 Mei 2022 - 15:23
The Social Dilemma: Menelisik Candu dan Algoritma Media Destita Mutiara, S.Sos, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Barangkali kita kerap mendengar permasalahan mengenai bagaimana kita di acak-acak oleh media dan menyarankan menonton sebuah dokumentasi drama dengan Judul The Social Dilemma untuk mengetahui lebih jauh mengenai cara kerjanya.

The Social Dilemma adalah sebuah film dokumenter yang mulai bisa diakses melalui platform digital film melalui Netflix dan program streaming lainnya. The Social Dilemma (TSD) adalah sebuah film bergenre Dokudrama yang pertama kali dirilis pada tanggal 9 september 2020. Dokudrama adalah genre film yang bergenre dokumentasi dengan disertai dengan drama sebagai salah satu penggambaran mengenai kondisi yang terjadi yang pada hal ini adalah penggambaran mengenai cara kerja sosial media. Film ini disutradarai oleh Jeff  Orlowski membahas mengenai pola-pola dan cerita dibalik penggunaan sosial media.  Dokudrama ini berdurasi 94 Menit 29 detik yang diisi langsung oleh dianataranya Tristan Harris  (Ahli Etika Desain Google), Justin Rosenstein (Facebook), Shoshana Zuboff  (Universitas Harvard), Skyler Gisondo, Kara Hayward, Vincent Kartheiseir, Anna Lembke (Stanford).

Dokudrama TSD  memberikan pemahaman mengenai sosial media yang memperlihatkan sisi lain dari teknologi internet. TDS mengupas mengenai penggunaan sosial media sebagai hal yang mengawasi kehidupan kita secara diam-diam yang pada akhirnya menghadirkan umpan yang berakibat pada ketergantungan terhadap media sosial. Secara prinsip sosial media yang kita gunakan seperti Twitter, Youtube, Facebook dan lainnya terkesan sebagai suatu alat yang gratis. Namun pada hal ini diiungkapkan bahwa jika sesuatu tidak mempunyai produk kita adalah produknya. Sosial media menggunakan algoritma yang digunakan sebagai salah satu model bisnisnya. Menghitung waktu penggunaan oleh pengguna dan diolah menjadi suatu nilai.

Media sosial memiliki gambaran mengambil data dan melakukan model bisnis pelacakan perilaku pengguna, memanipulasi pikiran kita dan menyebabkan kecanduan pada diri kita. Pada Film ini dikemukakan mengenai bisnis model raksasa, pengambilan data, pengawasan, Teknik manipulasi, propaganda yang dibuat dengan model raksasa internet.  

Algoritma Sosial Media

Penyortiran dalam sosial media dengan relevansi yang sesuai dengan kondisi, mendahulukan konten yang ingin dilihat pertama kali, dan rekomendasi - rekomendasi yang muncul dalam sosial media merupakan salah satu bentuk kerja dari algoritma. Algoritma mengelola informasi mengenai interaksi yang dijalankan. Memungkinkan mempercepat konten ditemukan di sosial media dan mendekatkan dengan apa yang dibutuhkan sesuai dengan yang terakhir mendapat banyak intensitas. Algoritma berfungsi sebagai penyaluran konten yang sesuai dengan pengguna. Sosial media menggunakan algoritma bertujuan untuk menyaring llebih banyak konten yang tersedia di platform secara alami. 

Algoritma dapat mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai sesuatu yang terjadi. Hal ini bisa berpengaruh negatif dan positif. Beberapa postingan dibuat oleh media dengan tujuan untuk meningkatkan minat masyarakat dalam nilai kehidupan tertentu. Misalnya berkaitan dengan postingan hidup sehat, politik dan hal lainnya. Hal ini bisa diatur algoritma berdasarkan lokasi akses dari pengguna  media sosial. Penentuan konten yang disebarkan ini juga  diatur algoritma berdasarkan letak geografis. Algoritma sangat memungkinkan masyarakat diarahkan pada pembentukan masyarakat digital dengan membentuk budaya masyarakat tertentu desain algoritma dengan memutuskan jenis konten atau topik mana yang harus diprioritaskan di setiap feed individu,  pembuat konten, atau merek mana yang pantas dan menarik untuk diakses. Oleh karenanya hal ini juga berimplikasi pada system algoritma yang membentuk gelembung hanya berdasarkan hal yang disukai. Hal ini disebut filter bubble effect

Filter Bubble Effect : Manusia Fokus berdasarkan hal yang Dianggap benar

The Social Dilemma memperlihatkan beberapa adegan dengan Artificial Intelligent yang ada di Silicon Valley. Sillicon Valley memproses keinginan dan informasi berdasarkan apa yang kita sukai dengan pancingan-pancingan mengenai beberapa hal yang pernah kita akses di sosial media. Hal ini juga digunakan oleh algoritma internet untuk mengkapitalisasikan keinginan pengiklan dalam hal yang berkaitan yang dihitung dari keberlangsungan dan lamanya waktu kita di Internet.

Tristan Harris selaku mantan Ahli Etika dari Google menyatakan bisnis model yang digunakan di sosia media adalah bisnis model algoritma. Algoritma dijalankan sebagai salah satu model yang secara sistematis mencuci otak dan memanipulasi kita. Proses manipulasi berdasarkan hal yang disukai memberuk sebuah gelembung masyarakat digital. Pemasukan konten yang dapat diakses hanya berdasarkan apa yang biasa dilihat atau dikenal dena Filter Bubble Effect.

Istilah filter bubble (gelembung filter) atau yang dikenal dengan filter bubble effect (FBE) merujuk pada hasil perhitungan algoritma yang difungsikan untuk menebak keinginan konsumen berdasarkan apa yang biasa diakses. Awalnya FBE diperkenalkan oleh Elli Pariser seorang aktivis dunia maya. Algoritma dalam perhitungan juga menyasar pada keinginan pasar yang berakhir pada hitungan yang membentuk isolasi intelektual yang melihat dan mengakses informasi berdasarkan yang apa yang disukai tanpa melihat sudut pandang orang lain. Selain itu sifatnya yakni menjual judul-judul yang bombastis yang memungkin banyak prang untuk mengakses dan menyebarkan artikerl atau informasinya hanya berdasarkan judul. Data menyatakan bahwa 59% link berita yang dibagikan pada sosial media tidak benar-benar diklik. Empat dari tujuh pengguna aktif sosial media mendapatkan informasi dari apa yang biasa mereka lihat. 

Kemudahan dalam akses teknologi informasi dan komunikasi banyak memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi di media sosial yang bersifat emosional dan subjektif berdasarkan apa yang mereka suka. Dalam The Social Dilemma tergambar pada kejadian di Muslim Rohingya Myanmar yang penyebaran kebenciannya sangat massif di Facebook. Hal ini bisa terjadi di Myanmar dikarenakan system yang digunakan Myamar. Pembentukan pro dan kontra mengenai suatu kepentingan dan informasi ini jugalah yang pada akhirnya membentuk sebah era yang memanfaatkan algoritma sosial media namun belum tentu kebenarannya.

Hal inilah yang menjadi awal mulai era Post-truth. Era post-truth (pasca kebenaran) mulai menjadi perbincangan kembali pada awal 2016 di Amerika serikat setelah perang Politik yang menjadikan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Post-truth menyebarkan berita yang menyasar dengan menyebarkan kebohongan dan informasi yang emosional dan subyektif untuk kepentingan popularitas. Post-truth lebih populer dengan berita dengan segmen politik atau juga erat kaitannya dengan  fake news, hoax, rumors. Pada mulanya kemunculan post-truth dibentuk berdasarkan sentimen dan kepercayaan bukan berdasarkan fakta dan akal rasio sehingga post-truth sering mengalami kesalahan informasi dan gangguan informasi.  

Sosial Media dan Kesehatan mental

Kondisi penggunaan sosial media di The Social Dilemma digambarkan  dengan melihat beberapa kebiasaan manusia secara psikologis. Manusia cenderung menginginkan untuk diakui secara publik Psikologi manusia dan menautkannya dengan teknologi personalisasi paling mendalam yang pada akhirnya menyajikan kepada kita apa yang ingin kita lihat, membuat kita menggunakan waktu lebih banyak untuk tenggelam di media sosial, lalu menjual perhatian tersebut kepada pengiklan.

Penelitian yang dikemukakan oleh Anna Lembke dari Stanford University mengemukakan bahwa media sosial berpengaruh pada kehidupan yang merangsang hormon yang bersifat adiktif dengan menyamakannya adiksinya dengan pengguna narkoba. Studi penelitian di universitas Harvard  mengungkapan mengenai afirmasi diri, penerimaan oleh khalayak memberikan efek peningkatan hormon Dopamin pada otak. Hormon ini dirangsang melalui afirmasi yang disalurkan oleh neuron karena perasaan suka diterima oleh lingkungan. Hormon Dopamin adalah hormon yang berakibat pada perasaan Bahagia, oleh karena itu peningkatan hormon Dopamin pada otak juga akan berimplikasi pada semangat dan menjadi obat bagi diri sesorang.

Media sosial memberikan afirmasi positif dengan pemberian perhatian dari orang sekitar dengan tombol suka, sehingga hal ini berakibat pada keinginan untuk dapat diterima dan disukai oleh khalayak. Sosial media memanfaatkan kesepian dimalam hari dan hal yang berkaitan dengan keheningan yang akan dimanfaatkan menjadi hal yang potensial untuk mendapat atensi. Sehingga dalam banyak kasus orang merasa lebih nyaman dengan dunia virtualnya karena mendapatkan apa yang membuat mereka senang dan memberikan jarang pada kehidupan nyata mereka. 

Pengguna sosial media melihat sosial media sebagai salah satu hiburan yang dapat memberikan kenyamanan dan menjadi salah satu metode koping untuk menghindari stress, menghilangkan kesepian dan depresi. Hal ini dikarenakan sosial media memberikan hal yang membuat Bahagia, tanpa adanya imbalan-imbalan. Namun hal ini juga berdampak buruk terhadap kecanduan penggunaan media sosial. Masalah yang dihadapkan adalah hal yang berkaitan dengann masalah interpersonal. Kesenangan di sosial media membuat masalah mengabaikan dunia nyata, mengabaikan tanggung jawab terhadap kehidupan nyata. 

Penggunaan sosial media dengan tidak bijak juga bisa berakibat pada ketidak penerimaan diri yang juga akan berpengaruh pada kondisi mental sesorang. Hate speech atau perundungan juga menjadi salah satu faktor yang akan mempegaruhi psikologis pengguna sosial media. Kasus Molly adalah salah satu kasus anak yang bunuh diri diakibatkan oleh pembullyan dan stress yang dituliskan oleh orang lain di sosial media.  Selain itu ada pula kasus yang sama dijumpai di Bekasi. Dilansir dari Media Indonesia terjadi perundungan yang dihadapi oleh WA seorang siswa menengah kejuruan di sosial media. Perundungan ini berakibat pada depresi yang dirasakan oleh korban. Pada kasusnya korban tidak ingin lagi bersekolah dan mngurung diri, memicu gangguan jiwa, hampir bunuh diri. 

Hubungan  antara sosial media dan depresi  oleh Centre for Longitudinal Studies pada laporan dengan judul “Heavy Sosial Media Use Linked to Depression in Young Teens” mengungkapkan dari 10.904 anak perempuan yang lahir antara tahun 2000 dan 2002 di Inggris  dengan rentang usia rata-rata 14 tahun memiliki didapati 43,1 % memiliki gejala depresi tinggi, namun anak laki-laki hanya diangka 21,9%.

Solusi Menyikapi Sosial Media 

Media sosial mempunyai implikasi yang sangat besar bagi kehidupan. Kekeliruan terjadi ketika pelaku bisnis dalam sosial media sudah menyentuh emosional bagi pengguna dan menimbulkan polarisasi dari pelbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya bukan sosial medianya yang semestinya diperangi sebagai jendela bagi keuniversalan kita pada saat ini namun sikap kita sebagai pengguna perlu dengan bijak menggunakan media sosial degan mengomparasikan dan secara kritis menggunakan sosial media. 

Regulasi mengenai data dan hak akses dari inividu di sosial media juga sangat dibutuhkan, bukan hanya mengenai ujaran kebencian yang terlingkup di UU ITE tetapi juga hal-hal mengenai privasi mengenai data.

Oleh karenanya penulis menyarankan beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengahadapi dilemma yang diakibatkan oleh penggunaan sosial media.

1.    Menggunaakan secara bijak informasi yang ada di media
2.    Menggunakan media dengan disiplin dengan waktu yang berjangka atau membuat penjadwalan.
3.    Mencoba menerapkan detoksifikasi sosial media untuk menghindari kecanduan menatap layar.
4.    Menyeimbangkan penggunaan gawai dengan kehidupan nyata.

***

*) Oleh: Destita Mutiara, S.Sos, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Irfan Anshori
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.