Kopi TIMES

Tahun Politik dan Algoritma Media Sosial

Jumat, 23 Desember 2022 - 00:25
Tahun Politik dan Algoritma Media Sosial Muhammad Iqbal Khatami, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Menjelang Pemilu 2024 yang akan berlangsung sekitar 15 bulan mendatang, situasi hangat perpolitikan negara kita sudah mulai terasa.

Selain ditandai dengan dimulainya tahapan-tahapan Pemilu yang dijalankan dan disosialisasikan oleh penyelenggara pemilu, juga ditandai dengan masifnya informasi terkait survei elektabilitas dan kemunculan nama-nama yang disebut akan mencalonkan diri sebagai presiden.

Situasi kian hangat juga karena dipengaruhi oleh arus penyebaran informasi yang begitu cepat yang terfasilitasi oleh media sosial. Arena perdebatan politik sudah beralih sepenuhnya ke ruang-ruang digital.

Sejak Pemilu 2014 lalu, media sosial sudah mulai digunakan secara masif sebagai medium arena pertarungan narasi politik oleh masyarakat kita. Sama halnya dengan Pemilu 2019, media sosial hadir dengan lebih masif. Namun nampaknya implikasi pada polarisasi dan terpecah belahan di tengah masyarakat terus kita rasakan hingga hari ini ketika Pemilu telah usai dan bahkan telah memasuki masa Pemilu 2024 mendatang.

Media sosial seyogyanya dapat menjadi penunjang demokrasi deliberatif yang terfasilitasi di ruang digital dan mampu membangun konsensus persatuan.

Namun, kondisi saat ini seakan membuat media sosial justru memberi dukungan terhadap konflik, ditambah dengan sebagian masyarakat kita seakan dengan nyaman merawat luka tersebut dalam interaksinya di ruang digital.

Algoritma dan Echo Chamber

Media sosial berandil besar dalam menyediakan informasi yang sehari-hari kita konsumsi. Saat ini kita bisa mendapatkan konten yang sesuai dengan preferensi kita saat membuka beranda media sosial. Misalnya saja ketika kita membuka menu For Your Page (FYP) di TikTok, fitur rekomendasi konten yang diatur oleh algoritma menyesuaikan dengan preferensi kita dan membuat kita nyaman untuk melakukan scroll secara terus menerus, sehingga sulit untuk berhenti menonton konten di aplikasi tersebut.

Mengapa mereka bisa merekomendasikan konten yang sesuai dengan preferensi kita? Algoritma media sosial merekam rekam jejak historis kita dalam mencari konten di internet. Algoritma akan membaca perilaku pengguna, misalnya pengguna memposting dan membagikan komentar terkait afiliasi politik tertentu. atau ketika sering membaca berita tentang Tokoh A misalnya, maka algoritma rekomendasi akan menawarkan banyak berita tentang tokoh tersebut.

Sehingga, ketika kita secara emosional menyukai tokoh tertentu, maka dengan terpaan informasi yang terus menerus kita akan semakin menyukainya. Pun sebaliknya, ketika kita membenci tokoh yang dianggap sebagai pesaingnya, maka kita akan semakin membenci.

Hal inilah yang menyebabkan polarisasi masyarakat semakin meruncing pada kontestasi Pemilu kita, disebabkan oleh pola konsumsi informasi masyarakat kita yang dipengaruhi oleh rekomendasi algoritma. Selain itu, juga dipengaruhi oleh tingkat literasi digital dan politik yang minim sehingga dalam mengonsumsi informasi lebih mengedepankan emosional dibanding rasionalitas.

Hingga akhirnya kita terjebak dalam situasi di mana hanya menjadikan kita percaya dengan informasi yang sesuai dengan yang kita yakini, dibanding dengan informasi dengan perspektif lain. Tentu dengan mengesampingkan kevaliditasan informasi tersebut.

Pola ini kemudian menjebak kita dalam sebuah kamar gema (echo chamber) yang mana kita hanya mendengar ‘suara kita’ sendiri atau suara yang senada dengan emosional kita. Sebagian besar dari kita tidak menyadari hal ini dan semakin memperdalam jurang ke terpecah belahan antarkelompok di tengah masyarakat akibat perdebatan yang diruncingkan dalam ruang digital.

Alat Politik

Selain memfasilitasi amplifikasi informasi bagi pengguna, algoritma juga dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik. Secara sederhana, dengan amplifikasi yang dilakukan algoritma dapat menentukan informasi mana yang dapat dimasifkan penyebarannya maupun sebaliknya. Sehingga, cara ini dapat digunakan untuk membuat sebuah isu penting bagi publik, atau sebaliknya, menjadikan sebuah isu tidak dapat dijangkau oleh publik karena penyebarannya yang dibatasi.

Hal serupa pernah terjadi pada Pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu. Pada waktu itu, ada indikasi skandal Cambridge Analytica yang menggunakan data pengguna Facebook untuk microtargeting kampanye. Berdasarkan penelitian dari Hinds dan kawan-kawan (2020) dalam penelitiannya yang berjudul “It wouldn't happen to me”: Privacy concerns and perspectives following the Cambridge Analytica scandal. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa sebagian besar warga negara AS tidak menyadari bagaimana data mereka bisa diambil dan disalahgunakan.

Data tersebut diduga digunakan untuk mengeksploitasi data pribadi, mengaburkan iklan politik, Membiaskan informasi tertentu dan memungkinkan partai politik membuat janji politik yang berbeda-beda tergantung profil personal. Lalu, apakah kejadian serupa dapat terjadi di Indonesia?

Ada kemungkinan bisa karena media-media sosial besar memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Sehingga ada peluang intervensi oknum tertentu terhadap perusahaan media sosial untuk kepentingan politik. Selain melalui jalur perusahaan media, jalur serangan digital terhadap sistem algoritma juga berpeluang untuk digunakan.

Misalnya pada menjelang 2019 lalu, isu tersebut sebenarnya sempat di Indonesia. Saat itu muncul informasi peretas asal rusia menjalin kerja sama dengan petinggi partai politik. Isu yang berhembus peretas tersebut mampu memotong algoritma untuk menonjolkan pasangan capres cawapres tertentu.

Adaptasi Pengguna

Dalam perkembangannya, algoritma media sosial sering berubah-ubah, biasanya terkait dengan kepentingan bisnis pengembang pada media sosial tersebut, atau menyesuaikan dengan kebiasaan para pengguna. Sebab, dinamika popularitas media sosial dapat disebut bergantung dengan algoritma.

Di samping itu, dalam konteks kontestasi politik di negara demokrasi, apa yang dapat kita lakukan untuk melawan ilusi dan manipulasi algoritma di media sosial yang kita gunakan?

Pertama, kita harus menyadari bahwa media sosial memiliki sistem algoritma yang dapat mempengaruhi preferensi politik kita. Kedua, sebagai pengguna secara intens kita perlu mencari dan membaca informasi yang valid dan berimbang, khususnya melalui mesin pencarian. Sehingga kita tidak bergantung pada informasi yang disediakan rekomendasi algoritma. Dan ketiga, kita perlu melatih rasionalitas kita dalam mengkonsumsi informasi, sehingga tidak mudah tergiring oleh narasi politik yang tendensius dan memecah belah. Sekaligus, dengan adanya kebijakan kita dalam bermedia sosial, kita dapat berperan dalam melakukan counter terhadap informasi bohong (hoax) yang sejauh ini masih menjadi PR dalam kontestasi pemilu di Indonesia.

***

 

*) Oleh: Muhammad Iqbal Khatami, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.