https://jogja.times.co.id/
Opini

Negara Mengincar Rupiah dari Rekening Dormant

Minggu, 10 Agustus 2025 - 17:49
Negara Mengincar Rupiah dari Rekening Dormant Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Beberapa hari terakhir, ruang publik ramai membicarakan langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir jutaan rekening dormant, yaitu rekening yang sudah lama tidak aktif. Alasan yang disampaikan cukup heroik: mencegah pencucian uang, memutus aliran dana ilegal, dan memberantas praktik judi online.

Bagi sebagian orang, ini langkah yang layak diapresiasi. Namun bagi sebagian lain, ini menimbulkan tanda tanya. Benarkah semua rekening dormant itu berbahaya? Atau, justru ada sebagian besar yang sesungguhnya tidak bersalah dan bahkan ikut menopang roda perekonomian?

Rekening Tidur yang Bekerja

Kita cenderung menganggap rekening dormant sebagai rekening “mati suri” yang hanya memakan tempat di server bank. Tidak ada uang masuk, tidak ada uang keluar, tidak ada manfaat. 

Tapi di dunia perbankan, cerita ini tidak sesederhana itu. Meski pemiliknya tidak bertransaksi, dana di rekening dormant tetap menjadi bagian dari likuiditas bank. 

Dengan dana itu, bank bisa menyalurkannya kembali sebagai pinjaman yaitu modal usaha, kredit pemilikan rumah, bahkan pembiayaan pendidikan.

Mari kita buat hitung-hitungan sederhana. Jika rata-rata saldo di rekening dormant adalah Rp100 ribu, dan ada 31 juta rekening seperti itu, totalnya mencapai Rp3,1 triliun. Dana sebesar itu, bila diputar oleh bank, bisa membantu pembiayaan jutaan debitur. 

Bayangkan, kalau satu juta orang mendapat pinjaman Rp1 juta dari dana ini, berapa banyak warung kecil, usaha rumahan, dan proyek produktif yang bisa hidup karenanya.

Ironisnya, ketika rekening ini diblokir massal, dana tersebut “diparkir” dan tidak lagi bisa diputar oleh bank. Likuiditas berkurang, perputaran modal tersendat, dan efek domino terhadap perekonomian pun terasa, meski secara kasat mata mungkin tidak langsung terlihat.

Antara Pencegahan dan Kewaspadaan Berlebihan

PPATK tentu punya alasan kuat. Rekening dormant memang rawan disalahgunakan, apalagi jika identitas pemiliknya bocor atau pemilik aslinya sudah tidak peduli lagi. Data mereka bisa dibeli di pasar gelap dan digunakan untuk menampung dana haram.

Namun, berdasarkan pengalaman para pelaku industri perbankan, rekening dormant yang digunakan untuk kejahatan jumlahnya relatif kecil. Perkiraan realistisnya, mungkin hanya sekitar 0,5% dari total rekening dormant yang benar-benar berfungsi sebagai rekening penampung kejahatan. 

Artinya, jika ada 31 juta rekening dormant yang diblokir, kemungkinan besar hanya 150 ribu rekening yang berisiko tinggi. Sisanya? Rekening biasa yang nasabahnya mungkin sekadar lupa, malas mengurus, atau membiarkannya karena saldo minim.

Inilah yang membuat langkah pemblokiran massal terasa seperti menembak burung dengan meriam, terlalu besar daya hancurnya, dan yang kena bukan hanya burung, tapi juga seluruh pohon dan taman di sekitarnya.

Ada ironi yang sulit diabaikan. Dana di rekening dormant memang tidak bergerak dari sisi pemiliknya, tapi sesungguhnya tetap berdenyut di tangan bank. 

Dana itu ikut membiayai pinjaman yang bisa membuat warung buka setiap pagi, tukang bakso keliling punya gerobak baru, atau pengrajin batik membeli bahan kain.

Ketika dana ini “diambil” atau dibekukan, dampaknya bukan hanya ke bank, tapi juga ke masyarakat yang selama ini menjadi penerima manfaat tidak langsung dari dana itu. Seperti mematikan lampu di rumah tetangga tanpa sadar kita juga memutus aliran listrik ke rumah sendiri. 

Lebih jauh, langkah ini juga memunculkan risiko turunnya kepercayaan publik pada perbankan. Masyarakat bisa mulai khawatir: apakah rekening yang jarang dipakai akan tiba-tiba diblokir?

Kekhawatiran ini bisa membuat orang menarik dananya atau menghindari perbankan formal, padahal inklusi keuangan sedang gencar dikejar pemerintah.

Perlu Jalan Tengah

Pencegahan pencucian uang adalah kewajiban negara, dan PPATK memang berada di garda depan tugas ini. Namun, kewaspadaan berlebihan tanpa penyaringan yang cermat bisa menjadi bumerang. 

Alih-alih memblokir semua rekening dormant, pendekatan yang lebih presisi bisa dilakukan: gunakan teknologi deteksi transaksi mencurigakan yang sudah dimiliki, analisis riwayat aktivitas rekening, dan libatkan bank untuk memverifikasi data sebelum pemblokiran. 

Dengan begitu, rekening dormant yang benar-benar berisiko bisa ditindak, sementara yang aman tetap bisa berkontribusi pada perekonomian.

Rekening dormant memang terlihat diam, tapi diam bukan berarti mati. Kadang, di balik diamnya, ada kehidupan yang tetap mengalir membiayai usaha, menopang keluarga, dan menggerakkan ekonomi. Jangan sampai niat baik memutus aliran uang haram malah ikut memutus aliran rezeki yang halal.

***

*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.