TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Kebebasan berpendapat adalah elemen fundamental dalam demokrasi. Baik Amerika Serikat maupun Indonesia menjaminnya dalam konstitusi mereka, tetapi implementasinya di masing-masing negara berbeda secara signifikan.
Kebebasan Berpendapat di Amerika Serikat
Di AS, Amandemen Pertama Konstitusi memberikan perlindungan terhadap kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan hak untuk berkumpul secara damai.
Ini memungkinkan warga mengekspresikan pandangan mereka tanpa takut akan represi pemerintah. Mahkamah Agung AS secara konsisten menegaskan pentingnya perlindungan ini, bahkan dalam kasus kontroversial.
Kebebasan berbicara merupakan elemen penting dalam identitas nasional Amerika Serikat. Warga negara memiliki hak untuk secara terbuka mengkritik kebijakan serta pejabat pemerintah melalui berbagai sarana, seperti demonstrasi, media, dan diskusi daring.
Ruang ekspresi yang luas memungkinkan masyarakat menyampaikan pandangan mereka melalui beragam platform media sosial, termasuk Twitter, Facebook, dan Reddit. Kritik terhadap pemerintah kerap menjadi bagian dari wacana publik yang dinamis dan terbuka.
Bahkan, sindiran terhadap pejabat tinggi, seperti Presiden, sering kali menjadi tren, sebagaimana terlihat dalam penggunaan tagar #LetsGoBrandon yang ditujukan kepada Presiden Joe Biden.
Selain itu, kebebasan berbicara yang luas di ruang digital turut mendukung perkembangan gerakan sosial, seperti Black Lives Matter, yang semakin menguat melalui platform daring.
Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa kebebasan ini tetap menghadapi tantangan. Misalnya, pada tahun 2023, polisi menggerebek kantor surat kabar Marion County Record di Kansas, menyita peralatan dan dokumen milik wartawan.
Insiden ini memicu kecaman luas karena dianggap sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers. Selain itu, meningkatnya penggunaan perintah pembungkaman (gag orders) membatasi pelaporan media terhadap beberapa kasus tertentu.
Meskipun demikian, Amerika Serikat tetap menjadi salah satu negara dengan ruang kebebasan berbicara dan berekspresi yang luas, terutama di media. Satire politik memiliki peran signifikan dalam budaya politik negara ini, menghadirkan kritik tajam dalam balutan humor.
Program televisi seperti Saturday Night Live (SNL) serta talk show seperti The Daily Show dan Last Week Tonight with John Oliver secara rutin menyampaikan kritik terhadap kebijakan publik dan pejabat tanpa rasa khawatir akan ancaman hukum.
Tak hanya itu, media cetak ternama seperti The New York Times dan The Washington Post juga memanfaatkan karikatur politik sebagai sarana menyampaikan kritik terhadap pemerintah dengan cara yang kreatif dan menggelitik.
Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Indonesia juga menjamin kebebasan berpendapat dalam UUD 1945. Pasal 28E ayat (3) menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Pasal 28F juga menegaskan hak warga untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Namun, implementasi di lapangan sering kali berbeda. Demonstrasi dan protes publik kerap dihadapi dengan tindakan represif atau bahkan pembungkaman.
Contohnya adalah Protes Mahasiswa Indonesia 2025, yang digelar di berbagai kota untuk menolak kebijakan pemerintah. Di Jakarta, mahasiswa melakukan aksi di Patung Kuda dengan membakar ban dan poster pejabat. Di Surabaya, massa membakar keranda bertuliskan "Indonesia Gelap" dan bentrok dengan aparat keamanan.
Salah satu contoh pembatasan kebebasan berbicara di Indonesia dapat dilihat dalam kasus kriminalisasi terhadap band punk Sukatani dari Purbalingga. Mereka merilis lagu berjudul Bayar Bayar Bayar yang secara tajam mengkritik praktik pungutan liar oleh oknum kepolisian.
Namun, setelah lagu tersebut dirilis, aparat memanggil personel band untuk klarifikasi, yang berujung pada penarikan lagu dari berbagai platform musik. Meskipun pihak kepolisian menegaskan bahwa mereka tidak antikritik, kasus ini mencerminkan bagaimana ekspresi seni yang bersifat kritis masih menghadapi tekanan dan pembatasan.
Perbandingan Kebebasan Berpendapat di AS dan Indonesia
Meskipun konstitusi kedua negara menjamin kebebasan berpendapat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa AS lebih memberikan ruang bagi kritik terhadap pemerintah, baik dalam bentuk protes, media, maupun ekspresi daring.
Sementara di Indonesia, hambatan hukum seperti UU ITE serta tindakan represif terhadap demonstrasi dan seni yang kritis menunjukkan bahwa kebebasan berbicara masih menghadapi tantangan serius.
Dengan demikian, perbedaan antara AS dan Indonesia dalam menerapkan kebebasan berpendapat bukan hanya terletak pada jaminan hukum, tetapi juga pada tingkat penerapan dan perlindungan terhadap hak tersebut dalam praktiknya. (*)
***
*) Oleh : Krisna Sujiwa, Dosen Sastra Inggris, FSBK, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |