TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Bulan Ramadan merupakan momentum krusial bagi umat Islam dalam merealisasikan kesalehan individual dan sosial melalui peningkatan ritual ibadah dan aktifitas sosial.
Sebagai syahru tarbiyyah (pendidikan), Ramadan bukan semata diisi ritual ibadah vertikal saja, melainkan membentuk manusia paripurna (insan kamil) yang didalamnya tertanam nilai-nilai ketakwaan yang termanifestasi dalam kehidupan (horizontal).
Konsekwensinya, manusia diharapkan menjadi hamba yang shalih dan muslih. Hamba yang memiliki nilai-nilai kebaikan terpancar dalam tindakan bermanfaat bagi entitas lainnya, baik berupa makhluk biotik maupun abiotik.
Dewasa ini, krisis lingkungan yang cenderung desduktrif menjadi perhatian serius bagi kalangan agamawan, akademisi, maupun pemerhati lingkungan. Minimnya kesadaran lingkungan pun menggejala dari hulu ke hilir dimana elit maupun masyarakat cenderung acuh terhadap aspek lingkungan.
Hal tersebut diperparah dengan faham fundamental-filosofis yang memposisikan manusia secara superior yang menghegemoni dan eksploitasi alam berlebihan.
Faktor politik ekonomi yang kurang peka terhadap kerusakan lingkungan dan paham agama yang cenderung teosentrik dimana bencana alam hanya dipandang dalam satu perspektif berupa musibah dari Tuhan bukan bagian dari sunatullah.
Di tengah krisis lingkungan yang semakin kritis, bulan Ramadan merupakan momen reflektif dalam menanamkan kesadaran ekologis. Upaya tersebut dilakukan dengan mengaplikasikan eco-Ramadan yang merupakan upaya mengintegrasikan keberlangsungan ekologis dalam aktifitas ibadah di bulan Ramadan.
Dalam Islam sendiri, konsep pengolaan terhadap lingkungan dikenal dengan fiqh bi’ah (fikih lingkungan) yang didalamnya terkandung nilai tauhid, istikhlaf (tanggung jawab pemanfaatan), taskhir (ketundukan), i’mar (pengelolaan), tawazun (keseimbangan), dan sunatullah.
Mubalig Hijau: Iktiar Dakwah Berwawasan Lingkungan
Melalui medium pesan keislaman, mubaligh hijau atau dikenal dengan pendawah yang menyisipkan materi ekologis dalam ceramahnya, memiliki peran sentral dalam mewujudkan eco-Ramadan.
Melalui mimbar, mubaligh hijau dapat menyampaikan aspek spirit agama Islam dalam upaya mewujudkan kehidupan yang berkesinambungan melalui penjagaan alam. Setidaknya terdapat berbagai konten ataupun materi dakwah berkaitan dengan isu lingkungan.
Pertama, integrasi kedudukan manusia sebagai hamba (‘abid), makhluk biologis (basyar), makhluk sosial (nas) dan khalifah (pengelola bumi) terhadap eksistensi alam.
Kedua, ayat kauniyah sebagai bagian dari ajaran Islam. Ketiga, pesan Al-Quran terhadap perilaku perusakan alam. Keempat, urgensi hidup hemat dan ramah lingkungan. Kelima, urgensi pengelolaan lingkungan menurut Islam.
Melalui berbagai mimbar, para mubaligh juga dapat memberikan wawasan bahwa Islam bukan hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga berkaitan dengan hubungan sesama manusia maupun terhadap alam semesta. Alam semesta merupakan ayat kauniyah Allah.
Iktiar menjaga lingkungan merupakan bagian dari spirit jihad dan ibadah. Adapun momen Ramadan merupakan kesempatan bagi para mubaligh untuk menyampaikan pesan bahwa lingkungan merupakan iktiar manusia untuk mengembalikan alam sesuai dengan haknya.
Eco-Ramadan: Aksi Nyata Membangun Kesadaran Ekologis
Eco-Ramadan sejatinya merupakan gerakan yang memiliki semangat untuk menanamkan kesadaran ekologi melalui berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadan. Dengan berlandasakan pada wawasan dan koridor Islam, habituasi dalam menjaga lingkungan dapat dimulai melalui instansi, aktifitas dan kesadaran yang diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam baik melalui cara pandang dan pola hidup.
Setidaknya terdapat berbagai aktifitas dalam mewujudkan eco-ramadhan, yaitu:
Pertama, Gerakan “Puasa Sumber Daya”. Melalui masjid, gerakan “Puasa Sumber Daya” perlu dilakukan. Puasa sumber daya merupakan komitmen bersama untuk tidak berlebihan dalam menggunakan daya listrik, kendaraan bermotor dan air secara berlebihan.
Masjid mejadi pelopor utama dalam memanfaatkan listrik dan air yang efektik dan efisien seperti menyiapkan ruang terbuka agar siskulasi udara berjalan dengan baik, mengelola air untuk menyiram tanaman.
Selain itu, masjid melalui para mubalighnya berusaha membangun kedasaran jama’ah agar tidak menggunakan kendaraan bermotor menuju masjid.
Kedua, Gerakan “Puasa Sampah”. Gerakan “puasa sampah” merupakan iktiar yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan untuk mengelola sampah secara bijak dengan meminimalisir sajian makanan yang berbahan plastik.
Para pengurus masjid berkomitmen untuk menyediakan 4 jenis tempat sampah yang berupa tempat sampah organik, non organik, B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan khusu kertas.
Selain itu, juga disediakan gelas dan piring berbahan beling. Hal ini dilakukan untuk mengedukasi jama’ah agar memiliki kesadaran mengurangi sampah dan secara mandiri mengelola sampah.
Puasa sampah juga menekankan pada upaya mengurangi budaya konsumtif di bulan Ramadan dengan tidak berlebihan dalam berbelanja dan berlaku boros ketika sahur dan berbuka sehingga limbah yang dihasilkan hanya sedikit.
Ketiga, Gerakan Masjid Hijau. Gerakan masjid hijau merupakan upaya yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan agar tempat ibadah menjadi pelopor kebersihan, keindahan dan hemat energi.
Melalui tamanisasi, pengelolaan air yang efektif-efisien, tata ruang yang sejuk dan penuh cahaya, masjid menjadi sumber inspirasi dalam pemanfaatan alam dan mengelolaan alam yang bijak.
Sebagaimana fungsinya, masjid bukan hanya menjadi tempat ibadah saja, melainkan juga sumber keindahan, kebersihan dan sumber peradaban bagi keberlangsungan kehidupan umat.
Melalui masjid yang hijau, maka akan muncul kesadaran jama’ah hijau yang berkomitmen untuk menjaga ekologi-hayati.
Keempat, Ramadan sebagai Momentum Perubahan. Momentum Ramadan merupakan upaya membangun kebiasaan baru yang diinisiasi melalui berbagai aktifitas positif.
Eco-Ramadan merupakan komitmen kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan membangun harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam semesta.
Eco-Ramadan bukan hanya sekadar tren, melainkan sebagai sebuah panggilan jiwa dalam membagun peradaban yang mempertimbangkan kelestarian alam, ekosistem dan harmoni.
Melalui eco-Ramadan akan terwujud symbiosis mutualisme dimana alam yang terawat dengan baik, akan berdampat positif pula dengan keberlangsungan hidup manusia.
***
*) Oleh : Yazida Ichsan, Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY dan Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |