https://jogja.times.co.id/
Opini

NU Memanggil

Kamis, 25 September 2025 - 18:32
NU Memanggil Achmad Zuhri, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode Gus Yahya tak henti-hentinya diterpa isu. Beruntun kasus datang silih berganti dari awal kepengurusan: mulai kasus korupsi yang menjerat Mardani Maming, Bendum PBNU, pemberhentian antar waktu (PAW) sejumlah pengurus baik di PBNU maupun PWNU yang ditengarai karena tidak bisa “satu barisan,” sebagaimana yang pernah terjadi di Jawa Timur.

Isu konsesi tambang yang disebut-sebut diberikan pemerintah Presiden Joko Widodo, hadirnya kader muda NU dalam forum Israel, ditambah kekhilafan Ketum PBNU yang sempat mengundang Peter Berkowitz hingga isu korupsi kuota haji tahun 2024 yang menyeret nama-nama besar pengurus PBNU. 

Meskipun beberapa isu tadi tidak ada kaitan langsung dengan PBNU, mengapa yang diserang adalah PBNU nya?

Serangkaian isu ini membuat rumah besar kita seperti dihantam badai dari segala arah. Suara-suara sumbang berseliweran di media sosial, mayoritas bernada nyinyir, sebagian berasal dari akun tak jelas dan buzzer bayaran. 

Tetapi kita juga harus jujur, banyak suara kritis justru lahir dari warga NU sendiri dari para pecinta yang tak rela melihat PBNU direndahkan martabatnya. Kritik itu sering tajam. Bahkan menohok, namun lahir dari cinta.

Masalahnya, di tengah gelombang itu, mayoritas pengurus NU di tingkat ranting hingga wilayah lebih memilih diam, bahkan para influencer NU juga memilih menghindar. Mereka merasa aman dengan sikap “ora melu-melu urusan PBNU.” Alasannya beragam, diam karena takut tidak “satu barisan” atau diam karena khawatir “disemprit.” 

Inilah spiral of silence yang membekukan lidah banyak pengurus. Padahal diam saja tidak cukup. Tradisi NU memang mengajarkan diam sebagai dzikir dan doa, tetapi di saat rumah besar kita diguncang, doa harus ditemani ikhtiar nyata.

Narasi “PBNU diserang dari dalam” makin sering muncul. Celah ini kerap dimanfaatkan pihak luar untuk mengadu domba warga NU. Kita bisa melihat beberapa contoh mutakhir: bentrok fisik akibat isu nasab yang tak berujung antara PWI LS dan Muhibbin Habaib padahal keduanya sama-sama anak bangsa sekaligus warga NU, perbedaan pilihan politik dalam Pilpres kemarin yang sempat meretakkan persaudaraan di akar rumput hingga narasi-narasi sumir yang mendiskreditkan posisi PBNU di tengah absennya partai politik yang benar-benar kritis terhadap pemerintah.

PBNU memang tampak babak belur, tetapi ia tetap berdiri tegak. Itulah watak jam’iyyah ini. Meski dihantam badai, tetap kokoh dan enggan roboh.

Kita melihat ada teladan dari para tokoh yang memilih tidak lari dari serangan. Gus Ulil misalnya, meski jadi sasaran hujatan dan tudingan, tetap all out membela PBNU. Ia menanggung caci maki sekaligus menjaga martabat rumah besar kita. 

Sikap itu bukan sekadar keberanian, tetapi wujud kesetiaan. Anda boleh beda pandangan soal ini, tetapi yang ingin saya tekankan adalah sikap berani menghadapi tudingan yang mediskreditkan PBNU itu yang harus kita tunjukkan.

Lalu, bagaimana dengan kita sebagai pecinta NU? Memang, membela PBNU tidak harus ikut sibuk membuat klarifikasi atau kontra-narasi. Kita mungkin tidak tahu sepenuhnya apa yang terjadi di pusat. Tapi kita bisa menunjukkan cinta dengan cara yang sederhana dan dekat: menjadi teladan moral, menyambung kegelisahan umat, menjaga NU kultural agar tetap hangat di hati rakyat kecil. Ujungnya jangan sampai kita menjadi seorang pembenci. 

PBNU adalah rumah besar kita. Rumah yang diwariskan para masyayikh, tempat kita berteduh, belajar adab, dan menyemai doa. Kalau Gus Dur pernah berkata, “Tuhan tidak perlu dibela,” maka izinkan kita menegaskan: PBNU harus dibela. Karena kalau rumah besar ini roboh, kita semua kehilangan arah. NU memanggil.

***

*) Oleh : Achmad Zuhri, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.