TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Di tengah denyut demokrasi yang terus berubah, hukum seharusnya menjadi jangkar yang membuat arah bangsa tetap lurus. Namun wacana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali membuka luka lama: apakah negara benar-benar ingin memperbarui hukum demi perlindungan warga, atau sekadar memperluas kewenangannya atas nama penegakan ketertiban?
Tiga dekade terakhir menunjukkan satu pola yang berulang: setiap wacana revisi KUHAP selalu memancing kecemasan publik. Di satu sisi, KUHAP memang lahir dari masa lalu yang tidak lagi relevan dengan dinamika hukum modern. Tetapi di sisi lain, banyak pasal dalam draf revisi justru mengisyaratkan penguatan tangan negara dan penyempitan ruang kebebasan individu. Ketegangan inilah yang membuat publik bertanya-tanya: apakah pembaruan hukum acara pidana sedang diarahkan untuk melindungi rakyat atau justru memudahkan negara menindak warganya?
KUHAP sering disebut sebagai “mahkota” perlindungan hak tersangka sejak pertama kali berlaku tahun 1981. Tetapi praktik di lapangan menunjukkan kenyataan yang jauh lebih kompleks. Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) secara konsisten memperlihatkan bahwa lebih dari separuh aduan masyarakat berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan aparat mulai dari intimidasi, pemaksaan pengakuan, hingga pembatasan pendampingan hukum. Ketika pemerintah menyodorkan alasan “efisiensi” dalam revisi KUHAP, publik wajar merasa waswas. Efisiensi bagi negara tidak otomatis berarti perlindungan bagi warga.
Beberapa isu krusial dalam rencana revisi KUHAP menguatkan rasa khawatir itu. Perluasan kewenangan penyadapan tanpa pengawasan ketat dari pengadilan misalnya, membuka ruang penyalahgunaan untuk kepentingan politik. Usulan perpanjangan masa penahanan membuat tersangka semakin rentan, karena penahanan semestinya bersifat ultimum remedium, bukan rutinitas.
Bahkan pembatasan peran penasihat hukum dalam tahap awal penyidikan sebuah prinsip yang di negara-negara demokratis masuk dalam kategori hak dasar muncul kembali sebagai gagasan yang menyesakkan. Di sisi lain, aturan penyitaan yang longgar juga memberi sinyal betapa negara ingin bergerak lebih jauh masuk ke ranah privat warga, tanpa syarat pembuktian yang memadai.
Di tengah ketimpangan ekonomi dan sosial, hukum yang terlalu memberi ruang pada aparat hampir selalu menekan kelompok yang paling lemah. Mereka yang tidak punya akses terhadap advokat harus berhadapan dengan proses yang rumit, berbiaya tinggi, dan sering kali timpang.
Inilah bentuk structural violence kekerasan sistemik yang lahir bukan dari pukulan fisik, tetapi dari struktur hukum yang tidak adil. Revisi KUHAP seharusnya menjadi jawaban atas ketidaksetaraan ini, bukan mempertebal jurangnya.
Banyak negara demokratis menjadikan judicial oversight sebagai benteng utama perlindungan warga. Inggris tidak mengizinkan penyadapan tanpa persetujuan hakim independen. Jerman memperketat standar pembuktian dalam penahanan dan penyitaan. Amerika Serikat memiliki Miranda rights yang tidak boleh diganggu gugat.
Negara-negara tersebut memahami satu hal penting: kekuasaan negara harus selalu diawasi, bukan diberi jalan lapang. Revisi KUHAP kita seharusnya bergerak menuju model ini bukan menjauhinya.
Sayangnya, narasi yang berkembang justru berkebalikan. Alasan bahwa aparat membutuhkan kewenangan lebih besar demi memproses perkara dengan cepat mengabaikan kenyataan bahwa kecepatan tidak boleh mengorbankan keadilan.
Dalih bahwa masyarakat akan terlindungi jika aparat dipermudah tindakannya bertentangan dengan pengalaman sejarah: semakin longgar pengawasan, semakin besar potensi pelanggaran. Bahkan anggapan bahwa KUHAP terlalu membatasi aparat terbantahkan oleh banyak kasus pelanggaran yang terjadi justru karena KUHAP tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Arah revisi KUHAP seharusnya berpijak pada empat fondasi utama: penguatan pengawasan yudisial, pengetatan standar pembuktian yang transparan, pemastian hak tersangka yang tidak dapat dikurangi, dan pembenahan budaya institusi penegak hukum. Tanpa empat fondasi ini, revisi hukum acara pidana hanya akan melahirkan KUHAP baru yang tua sebelum waktunya.
Selain itu, pelibatan masyarakat sipil dan akademisi menjadi mutlak. Pembentukan sistem hukum acara pidana bukan proyek birokratis tertutup. Ia membutuhkan ruang partisipasi publik, riset komparatif, dan uji wacana terbuka. Tanpa keterlibatan ini, revisi KUHAP hanya akan menjadi dokumen hukum yang jauh dari rasa keadilan masyarakat yang katanya ingin dilindungi.
Revisi KUHAP pada akhirnya bukan hanya soal teks pasal. Ia adalah cermin bagaimana negara memperlakukan warganya, apakah sebagai subjek yang perlu dihormati haknya, atau sebagai objek yang harus diawasi. Demokrasi tidak hanya diukur dari pemilu yang rutin, tetapi dari kekuatan hukum membatasi tindakan negara. Semakin besar kuasa yang dimiliki negara tanpa pengawasan, semakin rapuh demokrasi kita.
Kini, ketika wacana revisi kembali bergulir, publik berhak bertanya: yang sedang direvisi ini KUHAP atau kesabaran masyarakat? Karena ukuran kemajuan sebuah bangsa bukan seberapa kuat negara menegakkan kekuasaan, tetapi seberapa teguh ia melindungi yang paling rentan. Dan pada titik itulah, masa depan demokrasi kita dipertaruhkan. (*)
***
*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu KomunikasiUniversitas Ahmad Dalan Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |