https://jogja.times.co.id/
Opini

Hukum Tegak Saat Beton Retak

Rabu, 08 Oktober 2025 - 13:35
Hukum Tegak Saat Beton Retak Atqo Darmawan Aji, Dosen Fakultas Hukum UAD.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai simbol kemajuan bangsa, jalan tol yang membentang, gedung-gedung megah, hingga jembatan yang menghubungkan wilayah-wilayah terpencil. Namun di balik kemegahan itu, tersimpan tanggung jawab besar, menjamin keselamatan publik.

Pembangunan bukan sekadar proyek fisik, melainkan kontrak moral dan hukum antara negara dan rakyatnya. Ketika bangunan runtuh dan nyawa melayang, itu bukan sekadar musibah, melainkan tanda bahwa ada yang retak dalam sistem hukum dan etika konstruksi kita.

Kasus runtuhnya bangunan di Sidoarjo menjadi alarm keras bahwa tanggung jawab hukum di sektor jasa konstruksi belum ditegakkan sebagaimana mestinya. Tragedi itu tidak bisa dianggap sebagai “takdir”, karena dalam hukum, setiap kegagalan bangunan adalah konsekuensi dari kesalahan manusia, bukan kehendak alam.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) secara tegas menyatakan bahwa setiap kegiatan konstruksi wajib menjamin keselamatan publik dan mutu hasil pekerjaan. Di sinilah hukum menjadi pagar agar pembangunan tidak berubah menjadi petaka.

Pasal 1 angka 29 UUJK menyebutkan bahwa kegagalan bangunan adalah kondisi ketika bangunan tidak berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi persyaratan keandalan akibat kesalahan perencana, pelaksana, atau pengawas.

Artinya, tanggung jawab hukum tidak berhenti saat proyek selesai diserahterimakan. Selama bangunan masih berdiri dan digunakan publik, tanggung jawab itu tetap melekat.

Hukum tidak boleh berhenti di meja tender atau dalam dokumen administrasi, tapi harus hidup sampai di lapangan di mana beton, besi, dan nyawa manusia bertemu.

Dalam sistem hukum kita, ada banyak pihak yang terlibat dan karenanya banyak pula yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Penyedia jasa seperti kontraktor, konsultan, atau pengawas wajib menjamin mutu pekerjaan.

Kelalaian mereka yang berujung pada kegagalan bangunan dapat dijerat secara perdata dan pidana. Pengguna jasa, baik pemerintah maupun swasta, juga tidak bisa lepas tangan bila terbukti memberikan perintah yang mengabaikan standar keselamatan demi efisiensi anggaran.

Tenaga ahli bersertifikat pun memiliki tanggung jawab etik dan profesional. Sementara badan usaha konstruksi sebagai korporasi bisa dijerat pidana korporasi sesuai Pasal 88 UUJK karena hukum tak hanya berlaku bagi individu, tapi juga entitas bisnis.

Dari sisi pertanggungjawaban perdata, Pasal 27 ayat (1) UUJK menyatakan bahwa penyedia jasa bertanggung jawab atas hasil pekerjaan selama masa tanggung jawab yang disepakati. Bila terjadi kerugian, mereka wajib memberi ganti rugi sesuai Pasal 1365 KUHPerdata yang menegaskan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian wajib diganti oleh pelakunya.

Di luar itu, pemerintah juga memiliki kewenangan administratif: mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, pencabutan izin, hingga daftar hitam bagi pelaku jasa konstruksi yang abai terhadap keselamatan publik.

Namun, saat nyawa melayang, hukum perdata tak lagi cukup. Hukum pidana harus hadir untuk memberikan perlindungan yang nyata bagi masyarakat. Meski dalam UUJK yang baru terjadi pergeseran terkait sanksi pidana dari regulasi sebelumnya (UU No. 18 Tahun 1999), bukan berarti tanggung jawab pidana hilang.

Pelaku yang lalai hingga menyebabkan kematian dapat dijerat Pasal 359 KUHP: barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Jika menyebabkan luka berat, Pasal 360 KUHP juga siap menjerat dengan hukuman hingga lima tahun penjara.

Dengan demikian, hukum pidana berfungsi bukan hanya menghukum, tapi juga mencegah dan memperingatkan. Bahwa setiap tiang yang retak, setiap beton yang roboh, bukan hanya soal teknis, tapi juga tentang etika profesional, integritas, dan rasa tanggung jawab terhadap keselamatan manusia.

Kegagalan bangunan harus dilihat sebagai pelanggaran hukum, bukan sekadar kesalahan insinyur. Ketika korban berjatuhan, maka hukumlah yang harus berdiri paling tegak menuntut, mengadili, dan memberi keadilan bagi yang dirugikan.

Tantangan terbesar kita bukan pada kurangnya aturan, tetapi lemahnya penegakan hukum dan budaya akuntabilitas. Sering kali, kasus runtuhnya bangunan diakhiri dengan ucapan belasungkawa tanpa diikuti proses hukum yang tuntas.

Setiap proyek publik sejatinya menyangkut dana rakyat, dan setiap kelalaian adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan itu. Negara harus memastikan bahwa hukum tidak berhenti pada level retorika, melainkan benar-benar memberi efek jera kepada para pelaku yang abai.

Masyarakat berhak atas pembangunan yang aman, berkeadilan, dan manusiawi. Bangunan yang kokoh tidak hanya diukur dari kuatnya beton, tetapi juga dari kokohnya integritas dan penegakan hukum di baliknya.

Maka, ketika beton mulai retak, hukum jangan ikut rapuh. Sebab di situlah sejatinya kemajuan bangsa diuji bukan di seberapa tinggi kita membangun gedung, tetapi seberapa tegak kita menegakkan hukum di bawah fondasinya.

***

*) Oleh : Atqo Darmawan Aji, Dosen Fakultas Hukum UAD.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.