TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Kota sejatinya bukan sekadar tumpukan bangunan, jaringan jalan, dan lampu lalu lintas yang berkelip di malam hari. Kota adalah organisme hidup yang bernapas melalui aktivitas warganya, bergerak melalui sistem ruangnya, dan tumbuh melalui keputusan-keputusan manajerial yang diambil setiap hari.
Karena itu, manajemen tata ruang kota tidak boleh dipahami sebagai urusan teknis belaka, melainkan sebagai seni mengelola kehidupan bersama agar pertumbuhan tidak menjelma kekacauan, dan kemajuan tidak berujung ketimpangan.
Dalam kerangka manajemen perkotaan, muara akhirnya adalah keluaran nyata dari sebuah ikhtiar kolektif: layanan kota yang efektif, ruang yang adil, serta pertumbuhan yang memberi makna sosial, ekonomi, budaya, dan ekologis.
Pertumbuhan kota bukan sekadar kenaikan angka statistik, melainkan proses panjang dari interaksi antara manusia, alam, ruang buatan, dan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Ketika pertumbuhan itu dikelola dengan baik, kota dapat menjadi ruang harapan; sebaliknya, tanpa manajemen yang cermat, kota justru berubah menjadi labirin persoalan.
Kesalahan paling lazim dalam membaca persoalan kota adalah menyamakan pemerintahan kota dengan manajemen perkotaan. Padahal, pemerintahan hanyalah salah satu aktor dalam orkestrasi besar bernama kota.
Manajemen perkotaan menuntut lebih dari sekadar kewenangan administratif; ia membutuhkan visi, koordinasi lintas sektor, dan keberanian mengambil keputusan berbasis kepentingan jangka panjang. Pemerintah kota idealnya menjadi dirigen yang mampu menyelaraskan berbagai instrumen masyarakat, swasta, komunitas, dan ruang itu sendiri agar menghasilkan harmoni, bukan kebisingan.
Salah satu simpul terpenting dalam tata ruang kota adalah sistem pergerakan. Lalu lintas bukan hanya soal kendaraan, melainkan tentang alur kehidupan. Ketika arus pergerakan tidak dikelola, kota tersedak oleh kemacetan, waktu terbuang, energi terkuras, dan emosi warga terkikis.
Manajemen lalu lintas dan jaringan transportasi seharusnya dipahami sebagai upaya mengatur beban ruang dan waktu secara adil, memastikan setiap orang dapat bergerak dari dan ke tempat yang dituju dengan aman, nyaman, dan manusiawi. Transportasi umum, dalam konteks ini, bukan pelengkap, melainkan tulang punggung tata kelola kota yang sehat.
Namun, transportasi hanyalah satu sisi dari mozaik besar tata ruang. Pemanfaatan ruang perkotaan menuntut pemetaan ulang yang jujur dan adaptif terhadap kemampuan ruang. Kota tidak boleh dipaksa menampung beban yang melampaui daya dukungnya.
Ketika ruang hijau dikorbankan, kawasan resapan diabaikan, dan zona permukiman bercampur tanpa kendali dengan kawasan industri, maka kota sedang menggali masalahnya sendiri. Tata ruang yang ideal adalah tata ruang yang memahami batas, menghormati keseimbangan, dan menempatkan manusia sebagai pusatnya.
Tantangan kota-kota Indonesia hari ini adalah membangun sistem berbasis kawasan di tengah siklus sirkulasi perkotaan yang kian padat. Pengelolaan kawasan baik kawasan industri, pusat kota, permukiman, ruang publik, maupun kawasan penyangga harus berjalan seiring dengan manajemen sirkulasi perkotaan. Keduanya saling terkait seperti dua sisi mata uang. Kesalahan dalam satu sisi akan beresonansi pada sisi lainnya. Inilah yang kerap melahirkan hubungan siklikal antara tata guna lahan, arus lalu lintas, dan jaringan kota sebuah lingkaran masalah yang berputar tanpa henti jika tidak diputus dengan kebijakan yang tepat.
Dalam konteks pembangunan inklusif, pertumbuhan kota tidak boleh berhenti pada akumulasi kapital. Ia harus berdampak langsung pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup.
Kota yang ideal adalah kota yang menyediakan ruang publik yang ramah, layanan yang mudah diakses, lingkungan yang lestari, dan kesempatan yang setara. Pembangunan ekonomi harus berjalan seiring dengan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial, bukan berdiri di atas puing-puing lingkungan dan kelompok rentan.
Gagasan bahwa kota dapat dikelola secara kreatif pernah disampaikan secara visioner oleh Dr. Bondan Prakoso pada pembukaan Program Magister Teknik UGM tahun 1999, ketika ia menyebut bahwa bahkan “demonstrasi” pun bisa menjadi daya tarik wisata jika dimanajemen dengan baik.
Pernyataan ini bukan glorifikasi konflik, melainkan penegasan bahwa kota adalah ruang ekspresi. Dengan tata kelola yang cerdas, dinamika sosial dapat diarahkan menjadi energi positif, bukan sumber kekacauan.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep smart city hadir sebagai jawaban atas kompleksitas kota modern. Namun, kota cerdas tidak boleh direduksi menjadi sekadar tumpukan aplikasi dan kamera pengawas. Smart city mensyaratkan tiga fondasi utama: infrastruktur yang memadai, ruang fiskal yang sehat, dan proses bisnis pemerintahan yang berjalan efektif. Teknologi hanyalah alat; tanpa tata kelola yang baik, ia akan menjadi etalase mahal tanpa makna.
Pemerintah daerah yang serius membenahi tata ruang kota harus membuka akses informasi seluas-luasnya, bersikap responsif, dan membangun sistem e-government yang transparan. Kota cerdas adalah kota yang mendengar warganya, merespons cepat persoalan, dan memiliki identitas yang kuat sesuatu yang ikonik, membanggakan, sekaligus menggerakkan ekonomi, industri, pertanian, dan pariwisata.
Manajemen tata ruang kota ideal tidak hanya bertumpu pada regulasi dan teknologi, tetapi juga pada nilai. Guyub rukun, empati, gotong royong, dan saling menghormati adalah modal sosial yang telah lama diwariskan oleh nenek moyang dan ajaran agama. Tanpa nilai-nilai itu, kota akan tumbuh tinggi tetapi hampa. Dengan nilai itu, kota Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya menjadi besar, tetapi juga beradab.
***
*) Oleh : Aji Setiawan, Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Reformasi Korda Dista Yogyakarta 1999-2002.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |