https://jogja.times.co.id/
Opini

Di Balik Perdebatan Dokumen Akademik

Jumat, 14 November 2025 - 16:13
Di Balik Perdebatan Dokumen Akademik Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu KomunikasiUniversitas Ahmad Dalan Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Di tengah derasnya arus informasi, satu isu bisa menjelma menjadi badai psikologis kolektif. Begitulah yang terjadi pada perdebatan publik terkait tudingan “ijazah palsu Jokowi” sebuah isu yang sebenarnya telah berkali-kali dibantah secara resmi, namun tetap saja muncul dan menggulung perhatian publik. 

Lebih dari sekadar benar atau tidaknya tudingan, isu ini memperlihatkan bagaimana komunikasi massa di era digital mampu menggoncang kepercayaan, memicu kelelahan kognitif, dan melahirkan kecemasan sosial dalam skala luas.

Hanya dalam hitungan hari setelah isu tersebut kembali viral, percakapan digital melonjak tajam. Di X dan Facebook, data CrowdTangle menunjukkan peningkatan lebih dari 300 persen untuk kata kunci terkait “ijazah” dan “presiden”. 

Ironisnya, perbincangan yang meledak ini tidak dibangun oleh substansi, tetapi oleh sensasi. Di sinilah psikologi komunikasi memberi kita kacamata untuk memahami fenomena tersebut: mengapa isu yang secara administratif telah selesai justru dapat mengguncang publik lebih besar dibanding persoalan yang sebenarnya lebih krusial?

Menurut Dr. Lisa Feldman Barrett, isu politik yang bernuansa ambigu dapat memicu reaksi emosional yang lebih besar daripada fakta yang terang benderang. Ambiguitas adalah bensin bagi kecemasan. 

Masyarakat Indonesia memiliki resonansi historis terhadap isu kredibilitas pemimpin, sehingga ketika rumor lama disebarkan ulang, publik dengan cepat masuk ke fase yang dalam kajian psikologi komunikasi disebut Spiral of Anxiety spiral kecemasan yang tercipta ketika informasi samar diproduksi secara masif. 

Di dalam spiral itu, masyarakat mengalami rasa tidak pasti, kehilangan kendali, dan kebutuhan mendesak untuk mencari jawaban. Sayangnya, kebutuhan itu sering diarahkan kepada sumber yang belum tentu kredibel, sehingga masyarakat hanya bergerak dari satu ketidakpastian ke ketidakpastian lainnya.

Di saat yang sama, publik menghadapi kelelahan kognitif. Survei Digital Society Project (2023) mencatat bahwa 71 persen anak muda Indonesia merasa kewalahan menghadapi banjir informasi politik, apalagi ketika narasi dari berbagai kanal saling bertabrakan. 

Isu ijazah palsu kembali menguat justru karena judul-judul provokatif, framing media tertentu, dan algoritma platform digital yang memprioritaskan konten berkonflik. Semakin banyak membaca, semakin bingung; inilah paradoks dari era keterbukaan informasi yang tanpa filter.

Lebih jauh lagi, rumor semacam ini menciptakan apa yang disebut penularan ketidakpercayaan. Riset University of Pennsylvania menemukan bahwa rumor politik yang menyerang kredibilitas tokoh publik dapat menyebar ke institusi lain: pendidikan, negara, hingga media. Perdebatan ijazah akhirnya tidak berhenti pada dokumen akademik itu sendiri. Ia berubah menjadi simbol perebutan legitimasi dan kepercayaan.

Dampak paling berat dirasakan oleh generasi muda. Mereka bukan hanya pengguna paling aktif platform digital, tetapi juga kelompok yang menjadikan dunia maya sebagai ruang belajar, ruang kerja, dan ruang sosial. 

Ketika ruang itu dipenuhi konten politik penuh konflik, mereka mengalami political stress syndrome mudah marah saat melihat postingan politik, merasa hubungan sosial renggang, kehilangan motivasi mengikuti berita, bahkan menarik diri dari diskusi publik. 

Di sisi lain, disonansi kognitif muncul ketika narasi media dan narasi kelompok pertemanan bertentangan. Banyak mahasiswa menggambarkan kondisi ini dengan sederhana namun menusuk: “Saya capek. Buka Instagram bikin stres. Semua orang merasa paling benar.”

Dalam kondisi seperti itu, sinisme mudah menjadi gaya hidup. Rumor soal kredibilitas akademik meski konteksnya hoaks dapat mengikis harapan anak muda terhadap politik. 

Lama-kelamaan, muncul keyakinan bahwa politik itu kotor dan pemimpin tak bisa dipercaya. Bila sikap sinis itu meluas, yang terancam bukan hanya reputasi seseorang, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri.

Fenomena ini bukan hal baru di panggung global. Korea Selatan pernah diguncang rumor manipulasi prestasi akademik tokoh publik pada 2007, yang memicu demonstrasi mahasiswa dan menjatuhkan kepercayaan publik hingga 40 persen. 

Indonesia pun tidak jauh berbeda; setiap momentum politik selalu disertai rumor seputar latar belakang pendidikan, menunjukkan bahwa kredibilitas akademik telah menjadi simbol moralitas. Dan ketika simbol itu diperebutkan, luka sosial pun menganga.

Isu-isu seperti ini selalu mudah viral karena bekerja pada tiga mesin utama. Pertama, misinformasi bertahan hidup lewat emosi konten marah dan curiga selalu menang dari konten yang akurat. 

Kedua, algoritma platform digital memperkuat konflik karena sistem mereka dirancang untuk engagement, bukan kebenaran. 

Ketiga, bias konfirmasi membuat orang lebih percaya pada hal yang sesuai dengan preferensi politik mereka. Rumor, dengan demikian, hanya menjadi cermin dari keyakinan yang telah lama tertanam.

Namun, situasi ini bukan tanpa jalan keluar. Publik dapat menerapkan literasi psikologis sederhana: berhenti membaca saat mulai marah atau cemas, memeriksa sumber asli dan konteks, serta menunda membagikan informasi setidaknya sepuluh menit. Tiga langkah kecil yang terbukti menurunkan impulsivitas hingga 70 persen. 

Di sisi lain, platform digital perlu mengambil peran melalui friction design intervensi kecil berupa pop-up peringatan atau pembatasan distribusi konten menyesatkan yang menurut riset MIT mampu menekan penyebaran hoaks hingga 40 persen. Kolaborasi edukasi publik melalui kampanye kreatif, webinar, komik digital, atau micro-learning di TikTok juga perlu diperkuat untuk membangun resiliensi informasi.

Kasus “ijazah palsu Jokowi” pada akhirnya memberi satu pengingat penting: yang dipertaruhkan di era digital bukan hanya kebenaran, tetapi kesehatan psikologis kolektif kita. Kita memang tidak dapat mengendalikan berita apa yang muncul di layar, tetapi kita dapat mengendalikan bagaimana cara kita meresponsnya.

Masyarakat yang kuat bukanlah masyarakat yang bebas dari rumor, melainkan masyarakat yang mampu berpikir jernih, menjaga ketenangan, dan bertindak bijak di tengah badai informasi. Karena masa depan demokrasi tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memimpin negara, tetapi oleh bagaimana publik menjaga kejernihan pikiran dalam menghadapi derasnya arus informasi.

***

*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu KomunikasiUniversitas Ahmad Dalan Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.