TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Jelang H-1 penetapan UMK DIY 2024, para buruh DIY yang tergabung dalam MPBI DIY menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD). Dikusi bertajuk “Mencapai Upah Minimum Yang Layak dan Berkeadilan” digelar di BIK Hotel Kaliurang, Yogyakarta, Rabu (29/11/2023).
Kegiatan diskusi ini bertujuan untuk, mengkaji ulang sistem pengupahan di Indonesia dan merangkum usulan-usulan alternatif metode penetapan Upah Minimum di DIY. Hadir dalam diskusi yaitu Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan; aktivis Indoprogress, Ismail Al Alam; dari Disnakertrans DIY, dan Dosen Ekonomi UMY, Ahmad Ma'ruf.
Kepala Bidang HI dan Jamsos Disnakertrans DIY, Darmawan mengatakan, kebijakan upah minimum merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ia juga mengungkapkan, penetapan UMK DIY akan menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023. Dalam kesempatan ini, Darmawan menyampaikan, besaran UMK DIY 2024 akan diumumkan pada 30 November 2023 oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Kompleks Kepatihan Kantor Gubernur DIY.
Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan menjelaskan, UMK DIY harus mampu mengatasi defisit ekonomi buruh sekaligus mampu mendorong pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, UMK akan menjadi bagian dari upaya untuk pemenuhan Standard Hidup Layak.
“Negara wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merealisasikan standar hidup layak secara progresif. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup layak bisa dikategiorikan sebagai pelanggaran HAM,” tegas Irsad, Rabu (29/11/2023).
Menurut Irsad, dalam rangka mencapai formula penetapan upah minimum yang lebih baik, Irsad menawarkan formula atau metode penetapan upah minimum yang hendaknya digunakan dalam penetapan UMK DIY 2024. Formula tersebut ialah UMK 2024 = UMK 2023 + {UMK 2023 x (Inflasi + PE) + 50% KHL)}.
Dengan penjelasan, inflasi adalah inflasi yang diambil dari data BPS di bulan Oktober 2023. PE adalah Pertumbuhan Ekonomi provinsi yang diambil dari data BPS di bulanOktober 2023. Dan KHL adalah Hasil dari survei Kebutuhan Hidup Layak.
Dengan formula di atas, Irsad mengatakan, UMK akan menjamin terpenuhinya standar hidup layak. Berbanding terbakik jika suatu formula pengupahan menghambat tercapainya KHL, itu [formula] yang harus diganti, bukan besaran KHLnya.
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sesungguhnya upah buruh berorientasi pada pemenuhan KHL. Hal itu tertuang dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bahkan, “Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Soal Upah, Akademisi: Pemda Harus Cari Cara Lain Untuk Kesejahteraan Buruh
Sementara itu, Dosen Ekonom dari UMY, Ahmad Makruf menyampaikan jika penentuan UMP/UMK pada hakekatnya sebagai bentuk negosiasi. Posisi tawar yang tinggi menjadi penentu kemenangan dalam negosisasi. Maka, apapun formula dan parameter UMP/UMK hal utama yang diperlukan ada.
Makruf menambahkan, konsep UMP/UMK hanya untuk pekerja baru dan lajang. Namun, ada titik kritis secara faktual konsep ini berlaku pada buruh secara umum, termasuk buruh yang sudah lama bekerja dan berkeluarga.
Berkaitan dengan usulan peningkatan kesejahteraan buruh, tidak cukup hanya bertumpu pada upah. Dalam hal ini, Makruf memaparkan, upah menjadi salah satu factor kesejahteraan pekerja. Namun kesejahteraan bukan bertumpu pada upah saja. Justru hal utama/dasar yang dicari pekerja adalah kesejahteraan, bukan upah. Oleh karena itu, perlu dicari cara lain untuk mendapatkan kesejahteraan selain dari faktor upah.
Pada kesempatan yang sama, Ismail Al-Alam dari Indoprogress menjelaskan bahwa, masalah pengupahan ini tidak terlepas dari dinamika perkembangan kapitalisme.
Dari paparan Irsad sebelumnya bahwa data BPS menunjukkan produktifitas buruh yang tinggi tidak diimbangi dengan upah yang adil. Dengan demikian, Ismail menjelaskan fenomena itu dengan teori nilai lebih. Baginya, upah buruh yang lebih rendah dari produktifitasnya yakni suatu bentuk pencurian nilai lebih yang diambil oleh pengusaha.
Dalam sesi tanya jawab, Danu Rahamdi, perwakilan dari Partai Buruh Gunungkidul mengajukan pertanyaan mengapa upah buruh di Yogyakarta tergolong rendah atau murah.
Menjawab pertanyaan tersebut, Irsad menyatakan setidaknta ada 3 faktor yang menyebabkan upah buruh murah di Yogyakarta. Yakni, pertama adanya hambatan struktural Undang-Undang yang menghambat upah layak. Kedua, gerakan buruh di Yogyakrta tidak sekuat Gerakan Buruh di kawasan industri yang menyebabkan lemahnya posisi tawar, dan ketiga belum adanya ‘political-will’ untuk meningkatkan upah buruh secara signifikan. (*)
Pewarta | : Olivia Rianjani |
Editor | : Deasy Mayasari |