TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – BKKBN DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) memaparkan bahwa angka pernikahan dini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih tertolong cukup tinggi. Ada banyak faktor muda-mudi terpaksa melakukan pernikahan dini.
Pj Bidang KSPK BKKBN DIY, Witriastuti S. Anggraeni mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan seorang remaja menikah usia dini. Kebanyakan, pernikahan itu karena hamil di luar nikah. Karena hamil, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah bagi pasangan yang masih di bawah umur
Berdasarkan data dari Pengadilan Agama DIY, sejak tahun 2020 jumlah permohonan dispensasi nikah di wilayah DIY mengalami penurunan. Pada tahun 2020 permohonan dispensasi nikah ada sebanyak 958 orang. Dari angka tersebut mengalami penurunan menjadi 757 kasus pada tahun 2021, dan turun lagi menjadi 623 kasus pada tahun 2022.
Sedangkan pada tahun 2022, permohonan dispensasi nikah ada sebanyak 623 orang. Dari jumlah tersebut, terbanyak pemohon dispensasi nikah ada di Kabupaten Sleman yaitu sebanyak 244 pemohon. Kemudian disusul Kabupaten Gunungkidul ada sebanyak 161 pemohon, Kabupaten Bantul ada sebanyak 112 pemohon dispensasi nikah.
Berikutnya, jumlah pemohon dispensasi nikah adalah Kota Yogyakarta ada sebanyak 54 pemohon dan sebanyak 51 pemohon ada di Kabupaten Kulonprogo.
Selain faktor hamil diluar nikah, permohonan dispensasi nikah masih mendominasi dilingkup DIY yaitu disebabkan faktor kemiskinan, dan faktor budaya. Pada faktor ekonomi tersebut biasanya karena paksaan dari orang tua dan kebanyakan dari pihak perempuan yang dinilai menjadi beban untuk orang tuanya.
“Masih banyak anggapan kalau anak perempuan harus cepat dinikahkan. Jadi budaya seperti masih ada di beberapa daerah. Nah, kalau faktor kemiskinan misalnya ada anak yang tidak meneruskan sekolah, kemudian ada tetangga yang melirik yang membuatnya akhirnya dinikahkan,” tandas Eni, sapaan akrab Witriastuti S. Anggraeni, Rabu (1/11/2023).
Oleh karena itu, untuk menimalisir pernikahan dini itu BKKBN DIY terus menjalankan Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
“Kami ada Program Pendewasan usia perkawinan (PUP) yakni dengan mematok usia minimal pernikahan yakni 21 tahun bagi perempuan, dan 25 tahun bagi laki-laki. Usia tersebut memang lebih tua usianya dibanding Undang Undang pernikahan saat ini yang dimana menyaranksn diusia 19 tahun bagi perempuan dan laki laki,” terang Eni.
Adapun tujuannya mengapa pernikahan dini ini usianya dituakan. Hal ini karena untuk kesiapan terutama calon pengantin perempuan. Bahkan dampak negatif dari pernikahan dini adalah berpotensi terjadi perceraian, masalah ekonomi, hingga masalah kesehatan termasuk kanker serviks.
“Alasan kami mematok usia 21 dan 25 tahun itu, tentu saja secara medis untuk menjaga bagaimana kesiapan alat produksinya dan mental. Sebaliknya jika kurang dari usia itu, akan berdampak buruk terutama psikologisnya (mental), dan dampak lainnya seperti alat reproduksi wanita belum optimal dan kemungkinan kena kanker serviks dan itu beberapa tahun kemudian bisa lebih tinggi. Kemudian kesiapan mental sebagai ibu kurang,” papar Eni.
Eni berharap, baik masyarakat dan pemerintah harus bersinergi memberikan edukasi dan advokasi terhadap surat edaran untuk menikahkan seseorang di usia yang cukup tersebut. (*)
Pewarta | : Olivia Rianjani |
Editor | : Deasy Mayasari |