TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan untuk menekan angka stunting menuai sorotan dari berbagai pihak. Selain masih ditemukannya kasus keracunan makanan di beberapa daerah, sejumlah vendor penyedia makanan dilaporkan belum menerima pembayaran.
Meski demikian, pakar gizi dari FK-KMK Universitas Gadjah Mada, Dr. Toto Sudargo, SKM, M.Kes., menilai program ini tetap punya potensi besar jika dikelola secara tepat dan profesional.
Menurut Dr. Toto, kunci keberhasilan MBG terletak pada ketepatan sasaran. Ia menyarankan agar program ini diprioritaskan untuk kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan remaja putri.
“Remaja putri bisa dijangkau melalui sekolah, sementara ibu hamil dan menyusui melalui posyandu. Mereka ini kelompok penting karena akan menentukan kualitas generasi masa depan,” jelasnya, Selasa (6/5/2025).
Ia juga menekankan pentingnya komposisi gizi yang seimbang dalam menu makanan. Minimal, kata dia, MBG harus mampu menyumbang sepertiga dari kebutuhan gizi harian, terutama kandungan protein.
“Protein adalah faktor utama dalam pertumbuhan. Selama ini, yang sering terpenuhi hanya karbohidrat. Padahal proteinlah yang menentukan tumbuh kembang anak,” tegasnya.
Kualitas Menu Lebih Penting dari Kuantitas
Dr. Toto menyoroti bahwa keberhasilan program MBG tidak cukup hanya dilihat dari jumlah makanan yang dibagikan, tetapi juga kualitas serta penerimaan anak terhadap menu yang diberikan.
“Sedikit tapi dimakan habis itu lebih baik daripada banyak tapi tidak disentuh. Artinya, kualitas dan selera anak harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Ia mendorong penyusunan menu yang kreatif dan sesuai tren selera anak-anak. Contohnya seperti bola-bola daging atau makanan kekinian lainnya yang menarik namun tetap bergizi.
Ahli Gizi Harus Terlibat Aktif
Salah satu kritik utama dari Dr. Toto adalah belum maksimalnya keterlibatan tenaga ahli dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Ia menyarankan agar pemerintah mengandalkan ahli gizi dalam setiap tahap, mulai dari penyusunan menu hingga distribusi makanan.
“Jangan menyerahkan urusan gizi ke pihak yang bukan ahlinya. Penyusunan menu yang benar hanya bisa dilakukan oleh orang yang memang paham kebutuhan gizi,” katanya.
Ia juga mendorong agar pelaksanaan program dilakukan secara desentralisasi hingga ke tingkat desa agar pengawasan lebih optimal dan pelibatan komunitas lokal bisa diperkuat.
Di akhir wawancara, Dr. Toto menyampaikan harapan agar publik memberi kesempatan bagi program MBG untuk berkembang.
“Program MBG ini jangan langsung dihujat. Evaluasi terus dilakukan dan beri waktu satu atau dua tahun. Kalau dijalankan konsisten dan profesional, ini bisa jadi fondasi bagi generasi yang sehat dan cerdas,” paparnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Program MBG Dinilai Belum Maksimal, Pakar UGM: Libatkan Ahli Gizi dan Fokuskan Sasaran
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Deasy Mayasari |