https://jogja.times.co.id/
Berita

Ekonom UGM Nilai Wacana Vasektomi Jadi Syarat Bansos Tidak Tepat dan Berpotensi Diskriminatif

Rabu, 07 Mei 2025 - 21:48
Ekonom UGM Nilai Wacana Vasektomi Jadi Syarat Bansos Tidak Tepat dan Berpotensi Diskriminatif ilustrasi vasektomi. (FOTO: Alomedika)

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) menuai kritik dari kalangan akademisi. Salah satu kritik datang dari Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., yang menyebut wacana tersebut berpotensi menciptakan diskriminasi terhadap kelompok miskin.

Menurut Wisnu, niat untuk mengendalikan angka kelahiran sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan memang dapat dipahami. Namun, menjadikan prosedur medis seperti vasektomi sebagai syarat bantuan sosial adalah kebijakan yang terlalu ekstrem dan dapat menimbulkan dampak sosial yang serius.

“Memang jumlah anak yang lebih sedikit bisa mengurangi beban rumah tangga. Tapi menjadikan vasektomi sebagai prasyarat bansos bukanlah solusi yang adil,” ungkapnya, Rabu (7/5/2025).

Wisnu menekankan bahwa kelompok miskin umumnya memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak. Namun alih-alih membantu, kebijakan tersebut justru bisa memberi kesan pemaksaan terhadap kelompok rentan.

“Sistem bansos seharusnya inklusif, tidak menyasar hanya kelompok tertentu atau membuat standar yang diskriminatif,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa apabila wacana ini benar-benar diimplementasikan, besar kemungkinan akan muncul resistensi dari masyarakat. Narasi yang berkembang bisa berubah menjadi diskriminatif, koersif, bahkan memunculkan ketidakpercayaan terhadap program pemerintah.

“Bansos jangan sampai digunakan sebagai alat tekanan untuk keputusan medis. Dampaknya bisa panjang dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara,” tambah Wisnu.

Solusi Alternatif: Edukasi dan Insentif Program KB

Sebagai solusi, Wisnu menyarankan agar pemerintah menghidupkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang berbasis sukarela, seperti yang dilakukan pada masa Orde Baru. Pendekatan berbasis edukasi dan insentif dinilai lebih efektif dan manusiawi.

Ia mencontohkan praktik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan pendekatan tidak langsung untuk mengendalikan populasi. Salah satunya dengan membatasi jumlah penghuni berdasarkan kapasitas rumah tinggal.

“Misalnya, rumah dua kamar maksimal diisi lima orang. Bisa juga diberikan akses kontrasepsi gratis, bukan dengan paksaan vasektomi,” ujarnya.

Dari perspektif hak asasi manusia (HAM), Wisnu menegaskan bahwa hak reproduksi adalah hak dasar yang tidak boleh diintervensi secara paksa oleh negara. Keputusan untuk menjalani tindakan medis harus datang dari kesadaran dan kemauan individu, bukan dari tekanan kebijakan.

Ia mengingatkan bahwa kebijakan serupa pernah diterapkan di India dan Tiongkok, namun menimbulkan masalah besar seperti protes massal dan ketimpangan gender.

“Tiongkok pernah menerapkan kebijakan satu anak dan akhirnya memunculkan fenomena 'missing girls'. Di India, kebijakan sterilisasi massal bahkan menuai gelombang protes,” tuturnya.

Wisnu juga mengingatkan potensi munculnya praktik ilegal jika vasektomi dijadikan prasyarat bansos, seperti penerbitan surat keterangan palsu atau praktik vasektomi ilegal.

Sebagai jalan keluar, ia menyarankan pendekatan partisipatif dan berbasis edukasi, termasuk pemberian insentif bagi peserta program KB, edukasi reproduksi yang menyeluruh, hingga voucher kontrasepsi.

“Pemerintah perlu merancang kebijakan kependudukan yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan, tanpa memaksakan tindakan medis,” paparnya. (*)

Pewarta : A. Tulung
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.