TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY menilai minimnya acara pertunjukan budaya lokal disinyalir membuat wisatawan terutama dari manca negara enggan berlama-lama di Yogyakarta.
Mereka memilih langsung pulang setelah berkunjung di destinasi wisata. Dari pantauan GIPI DIY, pertunjukan budaya lokal pada malam hari masih sangat minim.
"Kami mendapatkan banyak keluhan dari wisatawan khususnya dari mancanegara bahwa Yogyakarta masih minim pertunjukan budaya terutama pada malam hari," kata Ketua GIPI DIY, Bobby Ardianto, Sabtu (26/11/2022).
Kondisi ini sangat berbeda dengan Bali. Di mana hampir di seluruh penjuru mata angin bisa mendapatkan performance budaya lokal tersebut yang bisa ditemukan hampir setiap hari. Wisatawan yang ingin menikmati Barong, Legong, Kecak banyak ditemukan di Bali setiap hari. Konsep ini untuk menahan wisatawan agar lebih lama tinggal.
Sedangkan di Yogyakarta sangat sulit menikmati pertunjukan budaya lokal. "Jadi night live cultural itu limited sekali di Yogyakarta. Memang ada beberapa seperti purawisata dan lainnya tetapi menurut mereka [wisatawan] standarnya belum seperti yang mereka harapkan," ungkap Bobby.
Hal ini ironis disaat Yogyakarta terus berusaha mempertahankan diri sebagai kota budaya. Oleh karena itu GIPI mendorong berbagai pihak untuk dapat mewujudkan keinginan wisatawan tersebut.
"Kebutuhan adanya pertunjukan budaya malam ini sebenarnya paling banyak dibutuhkan di Kota Yogyakarta, karena banyak wisatawan yang menginap di hotel area Kota Yogyakarta," tuturnya.
Memang ada event malam hari yang digelar dinas terkait, tapi tidak konsisten setiap hari. "Yang dibutuhkan wisatawan adalah setiap hari. Yang reguler ini yang enggak ada di Yogyakarta," jelas Bobby.
Sebenarnya di wilayah DIY sendiri sangat banyak ruang untuk tempat pertunjukan, baik indoor maupun outdoor yang cukup representatif. Namun hal ini butuh komunikasi dengan semua stakeholder terutama antara pemerintah dengan dunia industri pariwisata.
"Memang untuk menciptakan pertunjukan budaya lokal yang konsisten tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah, mengingat performance yang sifatnya kolosal butuh anggaran," ujarnya.
Oleh karena itu industri harus masuk untuk membantu mewujudkan adanya pertunjukan malam hari secara konsisten.
"Ini butuh sinergi antara pemerintah dan industri, pelaku wisata maupun para seniman. Karena selama ini memang beberapa masih jalan sendiri-sendiri sehingga belum terwujud. Ini momentum agar kita untuk bersama-sama," harapnya.
Bobby menegaskan karena minimnya pertunjukan malam hari itulah, menjadi lama kunjungan wisatawan di DIY sulit mengalami peningkatan. Empat kabupaten dan satu kota tidak terintegrasi dengan baik sehingga tidak banyak yang bisa dinikmati wisatawan.
Seringkali wisatawan pada pagi hari berangkat ke destinasi wisata di wilayah kabupaten dan sore hari ke Kota Yogyakarta. Di sisi lain, Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan untuk menyediakan pertunjukan budaya malam hari.
"Dampaknya length of stay kita tidak akan bergerak di antara 1,5 sampai 1,7 hari, tidak sampai dua hari. Ini sebenarnya terjadi juga di Solo, Semarang. Padahal kita semua punya Borobudur tetapi daerah bergeraknya parsial, tidak ada integrasi," ungkapnya.
Keberadaan Borobudur sebagai warisan budaya dunia menjadi destinasi wisata bagi banyak wisatawan luar negeri.
Yogyakarta menjadi salah satu penyangga destinasi ini karena setiap wisatawan hanya menikmati Borobudur sekitar dua jam saja sudah cukup. Namun, setelah berkunjung ke Borobudur itulah yang harus ditangkap agar wisatawan bisa berlama-lama di Yogyakarta.
Bobby memberi salah satu contoh pertunjukan budaya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikunjungi wisatawan adalah sendratari. Saat ini sendratari yang lebih sering dikenal adalah Ramayana, padahal Yogyakarta memiliki banyak kisah lokal yang bisa dijadikan tema.
"Seperti halnya Sendratari Pramodhawardhani kisah tentang pendiri Borobudur ini yang sedang disusun oleh sejumlah stakeholder pelaku budaya, ini ke depan menarik untuk dipentaskan sebagai night cultural. Sebentar lagi akhir tahun dan tahun baru, pertunjukan di Yogyakarta perlu diperbanyak agar wisatawan semakin banyak yang berkunjung ke Yogyakarta," beber Bobby. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Minim Pertunjukan Budaya, Turis Bule Enggan Berlama-lama di Yogyakarta
Pewarta | : A Riyadi |
Editor | : Ronny Wicaksono |