TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Padukuhan itu sebenarnya merupakan pembagian wilayah administratif. Khususnya di Jawa, bahkan di Indonesia, yang kedudukannya di bawah kelurahan atau desa.
Dahulu istilah ini digunakan di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun setelah pada masa Orde Baru, istilah padukuhan di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur diganti dengan dusun.
Sementara di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tetap menggunakan istilah padukuhan yang kemudian diberikan landasan Peraturan Gubernur No. 25 tahun 2019 Tentang Pedoman Kelembagaan Urusan Keistimewaan Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Dan Kalurahan.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Pemerintah Kabupaten Sleman Edy Winarya mengatakan, keberadaan toponomi padukuhan atau penamaan padukuhan selama ini berfungsi sebagai identitas pembeda antara padukuhan satu dengan pedukuhan yang lain.
Fungsi sebenarnya memudahkan masyarakat untuk mengenal daerah tersebut, antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, pedukuhan yang satu dengan pedukuhan yang lain, khususnya di dalam komunikasi dan informasi bagi masyarakat.
"Asal-usul sebuah nama pedukuhan tentu tidak lepas dari hal-hal yang melingkupinya. Di antaranya: mitos, sejarah, maupun budaya," terangnya
Di kabupaten Sleman, banyak sekali (daerahnya), terdiri dari 17 kapanewon (kecamatan) yang memiliki 86 kelurahan (desa), dan 1212 pedukuhan.
"Tentu jumlah tersebut akan memiliki latar belakang cerita sendiri-sendiri di masing-masing pedukuhan, tentang asal-usul toponominya akan mempunyai cerita sendiri-sendiri. Baik cerita rakyat yang melatar belakangi toponomi pedukuhan itu. Pada umumnya cerita ini diwariskan secara lisan atau turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Serta tidak didukung dengan bukti (tulisan) yang banyak atau daya dukungnya itu minim. Namun, pada umumnya (bukti yang ada), berupa petilasan atau artefak.
"Jadi, cerita rakyat itu kebanyakan adalah hanya turun menurun dari tradisi lisan. Ketika pewarisan cerita rakyat antara generasi ke generasi tersebut tidak jalan, tentu akan mengancam terhentinya suatu generasi, terhadap proses pewarisannya," jelasnya.
Sehingga Dinas Kebudayaan Sleman merasa kuatir, cerita toponomi padukuhan itu akan terancam, ketika tidak ada pewarisan mengenai tradisi lisan tersebut.
Terkait hsl itulah, ungkap Edy Winarya, Dinas Kebudayaan Sleman melakukan kegiatan penulisan buku asal-usul toponomi pedukuhan dengan tujuan untuk menjaga pelestarian cerita rakyat yang berkaitan dengan sejarah asal-usul toponomi 1212 pedukuhan ini.
Selain itu, dimaksudkan juga untuk mendokumentasi kesejarahan asal-usul padukuhan. "Harapannya nanti buku toponomi ini dapat memberikan konstribusi positif terhadap Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta membangun masyarakat Sleman yang berbudaya," tegasnya.
Ia menyebutkan, program ini sebenarnya adalah pengembangan dan pemeliharaan sejarah. Pada dasarnya, penulisan di tahun 2021 itu, jumlahnya 30 pedukuhan, yang didukung oleh 30 orang penulis dan 6 tenaga ahli.
"Namun tidak sedikit penulis yang berhasil menemukan narasumber, yang boleh disebut akurat karena tidak memiliki beberapa bukti tertulis. Meskipun ada juga penulis yang kebingungan menemukan narasumbernya," paparnya.
Tentu, ungkap Edy Winarya, bukan rahasia lagi bahwa hampir semua pedukuhan tadi tidak memiliki sejarah tertulis yang bisa dijadikan acuan.
"Kalau ada bukti-bukti, biasanya berupa petilasan, makam, sendang, masjid, artefak dan sebagainya. Atau cerita-cerita yang diwariskan secara turun menurun melalui tradisi lisan tersebut, meskipun disana-sini terjadi distorsi, namun hal itu tentu sudah kami anggap cukup memadai," ujarnya.
Sedangkan untuk tahun 2022 ini, rencananya Dinas Kebudayaan akan menulis kurang lebih 35 toponomi dari yang masih tersisa. Sehingga nanti rencana total selama 2 tahun akan memiliki 65 dusun yang sudah diteliti, ataupun di tulis, toponominya.
Pihaknya berharap, hasil dari tulisan tersebut ke depannya dapat menjadi sebuah referensi yang banyak. Bisa dikembangkan menjadi sebuah naskah untuk bisa membuat sinetron, ataupun bisa dibuat film pendek.
"Nanti bisa ditulis naskahnya atau dinaskahkan untuk festival ketoprak antar kecamatan, dan sebagainya. Ini prinsipnya kebijakan itu," tuturnya.
Namun kembali ia luruskan, prinsip atau tujuan yang paling mendasar adalah dalam rangka mendokumentasi berkaitan dengan sejarah asal-usul padukuhan yang ada di Kabupaten Sleman.
Sedangkan yang sudah ditulis dari 30 toponomi padukuhan ini di antaranya: Pedukuhan Susukan, Pedukuhan Dero, Pedukuhan Menulis, Jumeneng, Blambangan, Sorogedug.
Termasuk Padukuhan yang menggunakan nama unik dan menarik untuk di ulas yakni: Ngentak, Cebongan, Senuko, Gancahan, Lojajar, Gamol, Cangkringan, Cilikan, Kopen, Demangan dan sebagainya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ada Riwayat di Penamaan Padukuhan, Begini Penjelasan Dinas Kebudayan Sleman
Pewarta | : Fajar Rianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |