TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Dunia akademik kembali menegaskan komitmennya terhadap keberlanjutan global melalui The 2nd International Conference on Sustainable Environment, Development, and Energy (CONSER 2025) yang resmi dibuka oleh Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY), di Eastparc Hotel Yogyakarta, Rabu (22/10/2025).
Konferensi internasional ini mempertemukan para ilmuwan, peneliti, dan akademisi dari berbagai negara untuk bertukar ide dan hasil penelitian demi masa depan bumi yang lebih hijau, tangguh, dan berkeadilan.
Peserta konferensi berasal dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Uzbekistan, Kazakhstan, Taiwan, Amerika Serikat, hingga Yunani, baik secara luring maupun daring. Mereka membahas tema besar “Bridging Science and Technology for a Sustainable Earth” atau Menjembatani Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Bumi yang Berkelanjutan.
Ketua Pelaksana CONSER 2025, Dr. Akhmad Zamroni, Ph.D menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti di jurnal atau laboratorium.
“Ilmu pengetahuan harus hadir di tengah masyarakat dan menjadi dasar kebijakan publik. Itulah esensi dari konferensi ini — menjembatani sains dan kebijakan demi kemaslahatan bumi,” ujar Zamroni dalam sambutan acara tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara peneliti, insinyur, dan pembuat kebijakan agar hasil riset benar-benar memberikan dampak positif. Menurutnya, tantangan terbesar saat ini adalah menjadikan sains sebagai prioritas dalam perumusan kebijakan publik, di tengah persoalan global seperti krisis iklim dan praktik tata kelola yang belum transparan.
“Konferensi seperti CONSER penting untuk menjaga integritas ilmiah dan memperkuat pengambilan keputusan berbasis bukti,” tambah Zamroni.
Beberapa mitra perguruan tinggi internasional turut berpartisipasi, di antaranya Marinduque State University (Filipina), Universitas Kristen Maranatha (Indonesia), dan University of Southeastern Philippines.
Rektor ITNY: Pertukaran Teknologi dan Sains adalah Aksi Nyata
Rektor ITNY, Dr. Ir. Setyo Pambudi, MT menegaskan bahwa pertukaran ilmu dan teknologi harus diwujudkan dalam bentuk aksi konkret, bukan sekadar wacana akademik.
“Pertukaran teknologi dan sains adalah tindakan nyata. Setiap ide, inovasi, dan penemuan harus membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian bumi,” tegas Pambudi.
Ia menilai kolaborasi lintas negara ini adalah simbol persatuan dan persahabatan global, yang memperlihatkan bagaimana sains dapat menjadi jembatan antarbangsa.
“Semangat ini adalah roh yang diusung pendidikan dan penelitian — membangun masa depan bersama melalui pengetahuan,” ujar Pambudi.
Sebagai tuan rumah, ITNY berkomitmen terus memperkuat jejaring internasional untuk mendorong inovasi hijau dan penelitian berkelanjutan. Rektor Pambudi juga mengajak seluruh peserta untuk menikmati suasana Yogyakarta, kota yang menjadi simbol harmoni antara tradisi dan inovasi.
Riset Leonard Jalaluddin dkk: Arsitektur Biophilic Dorong Kesehatan dan Keberlanjutan
Salah satu riset yang menarik perhatian peserta datang dari tim peneliti Universitas Diponegoro (Indonesia), Universiti Brunei Darussalam, dan Luleå University of Technology (Swedia), yang terdiri atas Leonard Jalaluddin, K.P., Tasyania Salsabila, Ratih Widiastuti, Juliana Zaini, dan Dina Shona Laila.
Riset mereka berjudul “The Relationship between Biophilic Architecture and Sustainability in Building Design” menyoroti pentingnya arsitektur biophilic sebagai pendekatan strategis untuk menciptakan bangunan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga menyehatkan secara psikologis.
Menurut temuan mereka, desain bangunan modern sering kali mengabaikan aspek ekologis karena terlalu fokus pada estetika dan fungsi. Padahal, integrasi elemen alam ke dalam ruang bangunan dapat mengurangi stres, meningkatkan kenyamanan, dan memperkuat ketahanan lingkungan.
“Desain berkelanjutan biasanya menitikberatkan pada aspek teknis, sedangkan biophilic architecture menghadirkan pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada manusia,” tulis tim peneliti dalam hasil studinya.
Mereka menegaskan bahwa menggabungkan prinsip biophilic ke dalam desain arsitektur modern akan menciptakan lingkungan binaan yang resilien, adaptif, dan mendukung kesehatan manusia.
Selain itu, riset peneliti lain yang juga dipresentasikan di CONSER 2025 berasal dari Edgar M. Reyes, Jr. dan Angelica T. Magpantay dari University of the Philippines Los Baños, yang mengangkat studi berjudul “Exploring the Nexus between Renewable Energy, Climate and Disaster Risk Reduction, and Land Use Planning: The Case of Paete, Laguna, Philippines.”
Penelitian ini menyoroti hubungan antara energi terbarukan, perencanaan tata ruang, dan mitigasi risiko bencana di kawasan Paete, Laguna — wilayah yang menjadi contoh bagaimana kebijakan lokal dapat mendukung transisi energi yang berkelanjutan.
Dalam konteks Renewable Energy Act of 2008 (RA 9513) di Filipina, tim peneliti menganalisis bagaimana kebijakan energi angin (wind energy) bisa seimbang antara pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan ketahanan pangan.
“Dialog publik, pemetaan partisipatif, serta penilaian risiko iklim dan lingkungan merupakan kunci untuk menciptakan tata ruang yang adil dan berkelanjutan,” ungkap Reyes.
Riset ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah lokal, masyarakat, dan pemangku kepentingan agar kebijakan energi dapat berjalan efektif tanpa menimbulkan konflik lahan atau degradasi ekosistem.
Temuan mereka menjadi contoh nyata bagaimana energi terbarukan dan tata kelola berbasis masyarakat dapat berjalan berdampingan menuju pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya.
Melalui berbagai riset yang dipresentasikan dalam CONSER 2025, terlihat bahwa masa depan bumi bergantung pada keberanian dunia akademik untuk melahirkan solusi lintas disiplin dan lintas negara.
Dengan semangat “Bridging Science and Technology for a Sustainable Earth,” konferensi ini menjadi bukti nyata bahwa sains bukan hanya ilmu, tetapi gerakan global untuk menjaga bumi tetap layak huni bagi generasi mendatang. (*)
| Pewarta | : Soni Haryono |
| Editor | : Faizal R Arief |