TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Tradisi luhur kembali menggema di jantung Kota Yogyakarta. Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Pemerintah Kota Yogyakarta menggelar ritual sakral Siraman Pusaka Tombak Kiai Wijaya Mukti, Kamis pagi (24/7/2025), di Plaza Segoro Amarto, Kompleks Balai Kota.
Kegiatan yang mengundang perhatian masyarakat ini menjadi bentuk nyata pelestarian warisan budaya dan spiritual Jawa yang kental akan nilai moral dan simbol kemakmuran.
Upacara jamasan dipimpin langsung oleh Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo disaksikan ratusan peserta dari seluruh OPD, kemantren, dan kelurahan. Suasana khidmat tampak menyelimuti area saat air siraman membasuh Tombak Kiai Wijaya Mukti, pusaka kebesaran Kota Yogyakarta yang diyakini sarat filosofi kepemimpinan dan kebijaksanaan.
Tombak Kiai Wijaya Mukti, yang kini disemayamkan di ruang kerja Wali Kota Yogyakarta, merupakan pusaka peninggalan masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Dibuat pada tahun 1921, tombak ini resmi diberikan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2000.
Bentuknya menjulang sepanjang 3 meter dengan landean (pegangan) kayu Walikun, dihiasi pamor wos wutah wengkon dan dhapur kudhuping gambir yang menyiratkan simbol harapan dan kesejahteraan.
“Pusaka ini bukan sekadar benda pusaka, tetapi simbol moral pemimpin agar selalu hadir untuk menyejahterakan rakyat secara adil dan merata,” ujar Wali Kota Hasto.
Ritual ini juga melibatkan para pemilik pusaka dari lingkungan Pemkot, anggota paguyuban Paheman Memetri Wesi Aji (Pamerti Wiji), Abdi Dalem Keprajan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, hingga komunitas senibudaya. Mereka turut menghadirkan pusaka masing-masing, menunjukkan bahwa nilai-nilai kebudayaan tak hanya hidup di istana, tapi juga di hati rakyat.
Salah satu warga Kotagede, Tulus Wibowo (54) mengaku bangga terhadap tradisi tersebut.
“Jamasan tombak ini bukan hanya ritual, tapi pengingat akan leluhur dan harapan hidup yang lebih baik bagi kita semua,” terang Tulus.
Sementara itu, Sri Wahyuni (35), pelaku UMKM batik dari Kecamatan Pakualaman menambahkan bahwa pusaka warisan leluhur harus dijaga.
“Melihat pusaka ini dijamas memberi energi positif. Seolah Kota ini diberkahi kembali. Saya jadi semangat menjalankan usaha,” pinta Wahyuni.
Dalam filosofi Jawa, pusaka memiliki makna spiritual mendalam: bukan semata senjata, tetapi penyatuan logam mulia dan jiwa penciptanya. Tegaknya Tombak Kiai Wijaya Mukti diyakini sebagai penanda harmonisasi antara rakyat dan pemimpinnya (kawula-Gusti), serta simbol kemenangan sejati (wijoyo-wijayanti) ketika rakyat mencapai kamukten, kesejahteraan lahir batin.
Kegiatan seperti ini membuktikan bahwa Yogyakarta tidak hanya menjaga masa lalu, tetapi juga menanamkan semangat budaya untuk masa depan. Dan lewat jamasan pusaka, masyarakat diajak mengingat: harapan selalu bisa mekar seperti kudhuping gambir dari tanah yang menjunjung nilai-nilai adiluhung. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jamasan Tombak Kiai Wijaya Mukti, Simbol Kemakmuran Kota Yogyakarta
Pewarta | : A Riyadi |
Editor | : Deasy Mayasari |