https://jogja.times.co.id/
Berita

Merti Wayang Beber Pancasila, Simbol Kebhinekaan dari Lontar Kakawin Sotasoma

Minggu, 02 Juni 2024 - 09:10
Merti Wayang Beber Pancasila, Simbol Kebhinekaan dari Lontar Kakawin Sotasoma Suasana Merti Wayang Beber Pancasila di Bantul, Yogyakarta. (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Indra Suroinggeno, pendiri sekaligus kepala Museum Wayang Beber Sekartaji terlihat sibuk, Sabtu (1/6/2024). Rambutnya yang panjang diikat dengan kain warna hitam, senada dengan warna kaos dan kain yang melilit pinggangnya yang mirip sarung.

Sesekali ia naik ke panggung yang terletak persis di depan Museum Wayang Beber Sekartaji yang diinisiasinya sejak tahun 2017. Di atas panggung, sudah ada meja yang di atasnya terdapat berbagai macam wadah berisi sesaji dan ubarampe.

Seharusnya, ia memang wira-wiri sebagai bentuk tanggungjawab seorang pemimpin untuk memastikan persiapan sebelum acara Merti Wayang beber Pancasila dimulai pukul 10.00 WIB.

Sementara itu, di jalan bercor beton yang membentang di depan museum, sejak pagi anak anak sudah duduk beralas kain terpal berwarna biru. Mereka sedang asyik menggambar dan mewarnai pola Pancasila dengan aneka pensil warna di atas selembar kertas gambar yang telah disediakan.

Lomba mewarnai dan menggambar Pancasila untuk anak anak adalah salah satu rangkain acara Merti Wayang Beber Pancasila selain kirab dan pertunjukan reog. Sedangkan pementasan wayang beber dilakonkan pada malam hari hingga lewat tengah malam.

Ini kali kedua peringatan hari lahir Pancasila dengan acara Merti Wayang beber Pancasila. Namun tahun ini, sekaligus berbarengan dengan peresmian Pusat Pelestarian Bhineka Tunggal Ika Kampung Pancasila, yang juga digagas oleh Indra Suroinggeno. Peresmiannya dilakukan penandatanganan prasasti oleh Bupati Bantul Abdul Halim Muslih.

Museum wayang beber Sekartaji pertama berdiri tahun 2017 dengan masterpiece wayang beber Pancasila. Menurut cerita Indra Suroinggeno, Wayang Beber Pancasila mengambil cerita berdasarkan cerita yang ada di dalam Lontar kakawin Sotasoma yang asli yang isinya selaras dengan sila sila dalam Pancasila.

Merti-Wayang-Beber-2.jpg

Pertama, kata Indra Suroinggeno memulai cerita, Ketuhanan Yang maha Esa itu Gusti tan kena kinaya apa tan kena kinira apa. Artinya, Tuhan itu tidak bisa dikira kira; Tuhan yang Esa. Tidak bisa dibayangkan sejauh manusia mengimajinasikannya dengan ego.

Pada kisah pertama ini bercerita tentang masa kecil Sotasoma yang ingin mencari tahu siapa Tuhan. Sotasoma bertanya pada bapaknya lalu dijawab oleh sang bapak, bahwa tuhan itu tidak hanya ada di atas, namun keberadaan Tuhan itu ada ketika kamu menebar senyum dan berbuat kasih pada sesama, pada tumbuhan, pada hewan, dan kepada seluruh mahluk ciptaanNYA di bumi ini.

Ketika Sotasoma beranjak tumbuh remaja, lanjut Indra Suroinggeno, ada peran ratu adil di sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu dijelaskan di situ, tegas Indra, bahwa dalam masa pertumbuhan, Sotasoma makin mengetahui bahwa masyarakat yang ada di sekitarnya berbeda beda hukum adatnya.

Babak berikutnya dalam wayang beber Pancasila, memainkan gending Sailendra, sebagai penanda Sotasoma memasuki usia dewasa. Dikisahkan dia pamit meninggalkan semuanya; kekayaannya, hartanya, semua hal sifat keduniawiannya dia tinggalkan. Dia mengajak teman-temannya, gending, saron. Namun teman-temannya protes; kenapa tidak gong saja yang lebih besar? Sotasoma menjawab; jangan, karena yang besar dan kecil semuanya tetap bersinergi.

Pada saat itulah muncul Sabdo Palon Nayagenggong, dan memberikan satu wedaran sabda yang terkunci abadi, sabda menjadi orang nusantara. Wedaran itu berisikan “rembuk manunggal rasa” yang kemudian mengejawantah menjadi sila keempat. Berbekal wedaran dari Sabdopalon Nayagenggong itu, Sotasoma mematangkan diri dan berpetualang memberikan wedaran ke tempat tempat lain. Mengajarkan “rembuk manunggal rasa” dari wedaran Sabdopalon.

Kemudian yang sila terakhir itu guyub Samudra, kata Indra Suroinggeno. Dikisahkan, Sotasoma berada dalam bahtera yang terombangambing di atas lautan yang bernama dunia. Dunia hanya butuh satu pemimpin yang harus dipercaya sebab selama penjelajahannya di dunia, ia mendapatkan pelajaran bahwa semua kasta itu sebenarnya satu, mulia. Ia berpendapat; tidak ada sudra juga semua manusia akan lenyap, tidak ada brahmana di dunia, manusia juga akan lenyap. Sehingga kesatuan itu membuat dunia tidak ada ketimpangan, yang ada adalah keadilan.

Lalu diceritakan juga dalam bentang wayang beber Pancasila itu tentang peranan perempuan yang sangat luar biasa di Indonesia. Makanya empu itu’kan asal katanya dari kata perempuan. Di atasnya lagi ada leluhur. Apapun yang terjadi sudah dicitrakan dengan kondisi kehidupan yang ada di Nusantara ini. Pesan leluhur yang ingin disampaikannya, mbok aja meksa meksake dadi wong liya, wong dunia saja mengagumi kita.

Pada babak terakhir pementasan di dalam bentang wayang beber, gambar bagian depannya ada gambar anak anak sebagai simbol generasi masa depan. Maksudnya, visinya itu adalah bahwa anak anak bakal jadi pemimpin kita. Makanya ada simbol dalam kain beber itu bahwa  di atas kebenaran ada kebaikan, di atas kebaikan ada kebijkasanaan. Begitulah kisah wayang beber Pancasila secara sekilas, kata Indra Suroinggeno.

Padukuhan Kanutan memang sudah mendukung secara natural terhadap terjadinya kebhinekaan. Sebab nama nama jalan yang mengelilingi desa ini pun diberi nama nama yang berkaitan dengan jiwa Pancasila. Seperti jalan Pancasila, jalan proklamasi, Jalan garuda, jalan Merdeka, dan jalan Darmaatmaja. Semua nama nama jalan itu merupakan bagian penting di kampung sini yang telah ada sejak dulu. Warga di sini yang berbeda beda tapi tetap harmonis menancapkan jimat pusaka falsafah Pancasila. Itu dijaga betul, kata Indra, sebab jika melihat situasi diluar, pengamalan Pancasila itu semakin memudar. Makanya kita di sini, kata Indra, memberanikan diri dua tahun terakhir ini menjadi satu-satunya tempat yang menyelenggarakan acara Merti Wayang Beber Pancasila. Bukan merti desa. (*)

Pewarta : A Riyadi
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.